Sabtu, 03 November 2012

LDR

LDR

Gusti,25 tahun yang tinggal di Bandar Lampung, Indonesia, sementara Nissa pacarnya yang kuliah di Singapura....

Ketika malam minggu tiba,untuk mengobati rindunya Gusti pun menelpon Nissa

Gusti: Assalammualaikum Dek Nissa :D ...

Nissa: eh Mas Gusti, Wa'alaikumsalam :)...

Gusti: lagi apa Ni Kamu... aku kangen nih sama kamu...

Nissa: ahihi...Mas Gusti bisa aja...:*

Gusti: Dek, ibaratnya kamu itu matahari bagi ku...

Nissa: maksutnya gimana tu Mas...?

Gusti: walau jauh,tapi sinar mu menerangi cinta ku...

Nissa: aaaiiissshh...Mamas ni bisa aja...

Gusti: Dek,,andai saat ini kamu lagi senang,kirimi aku senyum mu untuk mengobati rindu ku...

Nissa: Mamas ni bisa aja deh...

Gusti: kalau saat ini kamu lagi sedih,kirimi aku tangis mu agar aku bisa ikut merasakan pedih mu...

Nissa: iiieehhhh...Mamaaass so sweet...

Gusti: kalau saat ini kamu lagi.............

Nissa: (mutus omongan Gusti)bentar Mas,,aku mau gantian ngomong...

Gusti: hehew...iya Dek....

Nissa: tadi Mas bilang kalau saat ini aku lagi senang, Mamas minta di kirimi senyum...kalau saat ini aku lagi sedih, mamas minta di kirimi tangis...ini aku lagi di WC Mas...mau minta di kirimi apa...?

Gusti: (ambil solar,panggang LUMIA)

Rabu, 31 Oktober 2012

Cinta & Waktu

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak. Ada Cinta, Kesedihan, Kekayaan, Kegembiraan, dsb. Mereka hidup berdampingan dengan baik. Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu, dan air laut tiba-tiba naik, akan menenggelamkan pulau tersebut. Semua penghuni mulai cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Cinta mulai kebingungan, karena ia tidak dapat berenang dan tidak memiliki perahu. Ia berdiri di tepi pantai untuk mencoba mencari pertolongan. Sementara itu, air makin naik membasahi kaki cinta.
Tak lama kemudian, Cinta melihat Kekayaan sedang mendayung perahu. “Kekayaan, Kekayaan, tolong aku”, teriak Cinta. “Aduh maaf cinta, perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tidak dapat membawamu, nanti perahuku tenggelam. Lagipula tidak ada lagi tempat bagimu di perahu ini”, kata Kekayaan. Lalu kekayaan kembali bergegas mendayung perahunya untuk pergi. Cinta merasa sedih sekali.

Namun kemudian Cinta melihat Kegembiraan lewat dengan perahunya. “Kegembiraan, tolong aku”, teriak Cinta. Namun Kegembiraan terlalu gembira karena ia dapat menemukan perahu, sehinga ia tidak mendengar teriakan Cinta. Air semakin tinggi membasahi Cinta sampai ke pinggangnya, sehingga Cinta semakin panik.
Tidak lama kemudian, lewatlah Kecantikan. “Kecantikan, bawalah aku bersamamu”, pinta Cinta. “Wah Cinta, lihatlah. Kamu basah dan kotor, aku tidak bisa membawamu ikut. Nanti kamu mengotori perahuku yang indah ini”, sahut Kecantikan. Cinta sedih sekali mendengarnya, ia mulai menangis terisak-isak.
Saat itu lewatlah Kesedihan, “Wahai Kesedihan, bawalah aku bersamamu”, Cinta meminta untuk ikut bersamanya. “Maaf Cinta, aku sedang sedih, dan aku ingin sendirian saja”, kata Kesedihan sambil terus mengayuh perahunya. Cinta putus asa, ia merasakan air makin naik dan akan menenggelamkannya.
Pada saat itu terdengar suara, “Cinta, mari cepat naik ke perahuku”. Cinta menoleh ke arah suara tersebut, dan melihat seorang tua dengan perahunya. Dengan cepat-cepat Cinta langsung menaiki perahu tersebut tepat sebelum air menenggelamkannya.
Di pulau terdekat, orang tua tersebut menurunkan Cinta dan segera pergi. Pada saat itu barulah ia sadar bahwa ia sama sekali tidak mengetahui siapakah orang tua yang telah memberi pertolongan sehingga dirinya selamat. Cinta segera menanyakan pada seorang penduduk di pulau tersebut, siapa sebenarnya orang tua tadi.
“Pak, siapakah orang tua tadi??”, tanya Cinta. “Oh, orang tua tadi?! Dia adalah sang waktu”, kata penduduk. “Tapi mengapa ia menyelamatkanku? Aku tidak mengenalnya, bahkan teman-teman yang mengenalku pun enggan menolongku”, Cinta heran.
Dan penduduk itu pun menjawab, “Hanya waktulah yang tahu, berapalah nilai yang sesungguhnya dari Cinta itu”.

Rabu, 04 April 2012

~~::** Tak Perdulikan Ku **::~~

. , . Genap sudah rasa yang ku hitung
dari bahagia sampai laranya hati ku temukan
hasilnya masih jua hampa yang ku isi dari
semua hari dan waktu

. , . Siang dan malam yang berganti
ku hanya diam tak mengerti dengan
senyum di tirai sepi menyirat indahnya
resah dan pilu terpajang di bingkai sendu
terusang debu - debu angan merekat mata
cuma sebatas menatap yang tak sempurna
untuk asa ku arungi yakni bahagia

. , . Sedih ku di arus sungai sejena tenang
berbinar cahaya sang rembulan perlahan
beriak teduh bersama ku memandang
kelam sendunya sepi

. , . Hidup ku seakan di jauhi oleh seluruh dunia
dan jiwa ku di sini terendap tak berwujud di kenali
cinta kasih akan sayang dari insan nan teramat ku inginkan menuntun hayat hidupku

. , . Duhai langit & alam semesta
Harus kemana ku tadahkan rasa
dan tatapan ini di ujung suasana
seakan tiada melihat indahnya
hadirku apakah sosokku berarti demi
seseorang atau sebaliknya cuma meriuhkan
suara heningmu

. , . Nafas yang ku hembuskan adalah semangat
mencari suatu kebahagian
Jejak yang ku langkahkan adalah untuk menjalani harimu mengharap letihnya jiwa temui tambatan hati cinta
Dari sang kekasih nanti

Jumat, 27 Januari 2012

cinta: sebuah karya dari Khalil Gibran

kenapa kita menutup mata ketika kita tidur?
ketika kita menangis?
ketika kita membayangkan?
itu karena hal terindah di dunia tdk terlihat

ketika kita menemukan seseorang yang
keunikannya sejalan dengan kita, kita bergabung
dengannya dan jatuh ke dalam suatu keanehan
serupa yang dinamakan cinta.

Ada hal2 yang tidak ingin kita lepaskan,
seseorang yang tidak ingin kita tinggalkan,
tapi melepaskan bukan akhir dari dunia,
melainkan suatu awal kehidupan baru,
kebahagiaan ada untuk mereka yang tersakiti,
mereka yang telah dan tengah mencari dan
mereka yang telah mencoba.
karena merekalah yang bisa menghargai betapa
pentingnya orang yang telah menyentuh kehidupan
mereka.

Cinta yang sebenarnya adalah ketika kamu
menitikan air mata dan masih peduli terhadapnya,
adalah ketika dia tidak memperdulikanmu dan
kamu masih menunggunya dengan setia.

Adalah ketika di mulai mencintai orang lain dan
kamu masih bisa tersenyum dan berkata
” aku turut berbahagia untukmu ”

Apabila cinta tidak bertemu bebaskan dirimu,
biarkan hatimu kembalike alam bebas lagi.
kau mungkin menyadari, bahwa kamu menemukan
cinta dan kehilangannya, tapi ketika cinta itu mati
kamu tidak perlu mati bersama cinta itu.

Orang yang bahagia bukanlah mereka yang selalu
mendapatkan keinginannya, melainkan mereka
yang tetap bangkit ketika mereka jatuh, entah
bagaimana dalam perjalanan kehidupan.
kamu belajar lebih banyak tentang dirimu sendiri
dan menyadari bahwa penyesalan tidak
seharusnya ada, cintamu akan tetap di hatinya
sebagai penghargaan abadi atas pilihan2 hidup
yang telah kau buat.

Teman sejati, mengerti ketika kamu berkata ” aku
lupa ….”
menunggu selamanya ketika kamu berkata ”
tunggu sebentar ”
tetap tinggal ketika kamu berkata ” tinggalkan aku
sendiri ”
mebuka pintu meski kamu belum mengetuk dan
belum berkata ” bolehkah saya masuk ? ”
mencintai juga bukanlah bagaimana kamu
melupakan dia bila ia berbuat kesalahan,
melainkan bagaimana kamu memaafkan.

Bukanlah bagaimana kamu mendengarkan,
melainkan bagaimana kamu mengerti.
bukanlah apa yang kamu lihat, melainkan apa
yang kamu rasa,
bukanlah bagaimana kamu melepaskan melainkan
bagaimana kamu bertahan.

Mungkin akan tiba saatnya di mana kamu harus
berhenti mencintai seseorang, bukan karena orang
itu berhenti mencintai kita melainkan karena kita
menyadari bahwa orang iu akan lebih berbahagia
apabila kita melepaskannya.
kadangkala, orang yang paling mencintaimu adalah
orang yang tak pernah menyatakan cinta
kepadamu, karena takut kau berpaling dan
memberi jarak, dan bila suatu saat pergi, kau akan
menyadari bahwa dia adalah cinta yang tak kau
sadari

serulah aku!!

Wahai sayang ku….!
Jikalau disatu hari nanti…. 
Engkau sedang merasa sedih dan berdukacita 
Serulah aku! 
Pasti aku akan segera datang disisi mu 
Walaupun aku tidak dapat mengembirakan mu ketika itu 
Yang pastinya… 
Aku akan turut serta berduka menangis bersama2 mu! 
Wahai sayang ku….! 
Jikalau disatu hari nanti 
Engkau ingin lari berpindah ketempat lain 
Serulah aku! 
Kerana aku tidak akan menghalang niat mu 
Cuma aku…. 
Ingin juga lari berpindah ketempat lain bersama2 mu! 
Wahai manis ku….! 
Jikalau disatu hari nanti 
Engkau lihat lidah ku sudah menjadi bisu dan kelu 
Segeralah datang kepada ku 
Kerana ketika itu…. 
Aku sedang didalam kerinduan 
Dan sedang tersangat dahaga 
Memerlukan diri mu dan kehadiran mu…!

Jumat, 20 Januari 2012

Perubahan

by Mario teguh

Engkau hari ini
adalah murid dari masa lalumu.
Jika engkau menghormatinya,
dan berlaku setia kepada petunjuknya,
maka hari ini-mu akan menjadi masa lalu
yang memuliakanmu di masa depan.

Maka mengapakah
engkau masih berkeras-kepala
mengulangi cara-caramu
yang terbukti hanya menggelisahkan jiwa baikmu
yang marah kepada ketidak-tegasanmu sendiri?

Sudahlah,
segera lakukanlah yang baik bagimu.

Pengelolaan Sumber Daya Alam

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memiliki sumber daya alam yang berlimpah. Indonesia memiliki kekayaan hayati dan non hayati yang beragam-ragam bentuknya. Inilah yang membuat Indonesia di sebut Negara yang kaya raya. Dengan adanya kekayaan alam yang melim[ah ini harus lah ada pengelolaan yang bertanggung jawab untuk tetap melestarikan sumber daya alam di Indonesia ini agar tidak punah.
Adapun kebijakan sumber daya alam yang bertanggung jawab adalah suatu langkah atau cara agar sumber daya alam di Indonesia tetap lestari. Oleh karena itu penulis membuat makalah ini untuk membahas tentang kebijakan yang bertanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya alam yang merupakan hal penting untuk di ketahui dan diimplementasikan untuk menjaga sumber daya alam di tanah air.

1.2 Rumusan Masalah
Berikut ini adalah permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dari pengelolaan?
2. Apa saja klasifikasi sumber daya alam?
3. Apakah pendekatan ekologi dalam sumber daya alam?
4. Bagaimana pengelolaan sumber daya alam?
5. Bagaimana pengelolaan SDA dalam prespesktif otonomi daerah?
6. Bagaimana pengelolaan SDA lintas regional?
7. Bagaimana pengelolaan SDA berbasis masyarakat adat, tantangan dan peluang?
8. Bagaimana kebijakan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan SDA?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian dari pengelolaan
2. Mengetahui klasifikasi dari sumber daya alam
3. Mengetahui pendekatan ekologi dalam sumber daya alam
4. Mengetahui bagaimana pengelolaan sumberdaya alam
5. Mengetahui bagaimana pengelolaan SDA dalam prespektif otonomi daerah
6. Mengetahui bagaimana pengelolaan SDA lintas regional
7. Mengetahui bagaimana pengelolaan SDA berbasi adat, tantangan, dan peluang
8. Mengetahui apa saja kebijakan yang bertanggung jawab dalam pengelolaan SDA



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pengelolaan
Pengelolaan dapat didefinisikan sebagai suatu upaya manusia untuk menggunakan, mengolah, dan menjaga sumber daya alam di alam semesta ini. Proses dari pengelolaan ini sendiri mempertimbangkan hubungan timbal balik antara kegiatan penggunaan sumber daya alam dan lingkungan alam yang secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu pengelolaan sumber daya ala mini adalah suatu proses penyusunan dan pengambilan keputusan secara rasional tentang pemanfaatan sumber daya alam yang terkandung di dalam suatu wilayah secara berkelanjutan.
Dalam suatu wilayah, ada yang disebut sebagai rencana strategi. Artinya bahwa pemanfaatan sumber daya alam harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengabaikan kepentingan generasi masa depan. Untuk itu azas-azas rencana strategis pengelolaan sumber daya secara optimal dan berkelanjutan yang dapat diterapkan adalah:
1. Pemanfaatan sumber daya dapat pulih harus memperhatikan potensi lestarinya. Terjadinya pemanfaatan secara berlebihan akan mengancam kelangsungan pemanfaatan sumber daya alam dapat pulih tersebut. Upaya yang harus ditempuh untuk menjaga keberlangsungan sumber daya alam dapat pulih tidak boleh melebihi potensi lestarsinya.
2. Pemanfaatan sumber daya tidak pulih harus dilakukan secara cermat dan bijaksana. Disebabkan karena sumber daya tidak dapat diperbaharui maka pengelolaannya harus seoptimal mungkin. Oleh karena itu mencari sumber-sumber energy alternative perlu untuk dilakukan.
3. Pendayagunaan potensi sumber daya alam sesuai daya dukung lingkungannya. Pengelolaan lingkungan dalam kaitannya dengan eksploitasi sumber daya tidak dapat diperbaharui tidak boleh merusak sumber daya dapat diperbaharui atau bahkan mematikan kegiatan sumber daya alam dapat diperbaharui.

2.2 Klasifikasi Sumber Daya Alam
Sumber daya alam mencangkup pengertian yang sangat luas, merupakan unsur pembentuk lingkungan yang sangat kompleks, dinamis, satu sama lain saling berinmteralksi. Owen (1980) mendefinisikan SDA sebagai bagian dari lingkungan alam yang dapat digunakan manusia untuk meningjkatkan kesejahteraan hidup. klasifikasi SDA berdasarkan karakteristiknya di[erlukan untuk mempermudah pemahaman kita mengenai sifat-sifat sumber daya tersebut. Klasifikasi tersebut akan mempermudah dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengelolaannya agar sumber daya alm tersebut tetpa lestari tetapi memberikan manfaat yang optimal. Berikut ini diuraikan beberapa jenis pengelompokan sumber daya alam.

1. Klasifikasi sunber daya alam menurut owen
Berdasarkan sifatnya, owen mengelompokan SDA yang inexhaustible dan exhaustible. Sumber daya alam inexhaustible adala sumber daya alam yang tidak akan habis. Akan tetapi tidak berarti ketersediaannya tidak terbatas, bahkan apabila salah kelola maka SDA tersebut dapat mengalami kerusakan sehingga tidak dapat berfungsi secara optimal. Misalnya, jika terjadi kerusakan lahan didaerah aliran sungai menyebabkan air tidak dapat meresap kedalam tanah, maka air akan lebih banyak mengalir sebagai aliran permukaan yang akkan menimbulkan erosi, sedimentasi, banjir pada musim hujan, kekurangan air pada musim kemarau, dan banyak lagi dampak terusannya.
SDA exhaustible merupakan sumber daya yang dapat habis, sekali kita gunakan habis maka sumber daya tersebut tidak aka nada lagi. Setidaknya untuk pembentukan kembali diperlukan ratusan bahkan ribuan tahun. Suatu SDA exhaustible dikelompokan lagi menjadi SDA maintainable dan non maintainable.
2. Klasifikasi sumber daya alm menurut barlow
Barlow mengelompokan sumber daya alam menjadi tiga kelompok yaitu:
a. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Sumber daya ala mini mempunyai sifat bahwa volume fisik yang tersedia tetap dan tidak dapat diperbaharui atau diolah kembali. Untuk terjadinya sumber daya tersebut diperlukan waktu ribuan tahun sumber daya al mini digolongkan menjadi 2 macam:
1. Sumber daya seperti batu bara dan mineral yang sifatnya dapat dipekai habis atau berubah secara kimiawi melalui penggunaan.
2. Sumber daya seperti logam dan batu-batuan yang mempunyaio umur penggunaan yang lama dan sering kali dapat dipakai ulang.
b. Sumber daya alamyang dapat diperbaharui. Sumber daya ala mini mempunyai sifat terus menerus ada dan dapat diperbaharui baik oleh alam sendiri maupun dengan bantuan manusia. Yang termasuk sumber daya alam ini adalah sumber daya air, angin, cuaca, gelombang laut, sinar matahari dan bulan. Aliran sumber daya alam ini dipakai atau tidak, terus menerus ada dan dapat diperkirakan
c. Sumber daya alam yang mempunyai sifat gabungan antara yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui . sumber daya ala mini dibedakan menjadi 2 macam yaitu sumber daya biologis dan sumber daya tanah. yang termasuk sumber daya logis adalah hasil panen, hutan, margasatwa, padang rumput, perikanan dan perternakan. Sumber daya ini mempunyai cirri seperti SDA yang dapat diperbaharui kareba mereka dapat diperbaiki setiap saat, asal ada pemeliharaan dan pemakaian yang sesuai dengan persediannya. Dalam waktu tertentu dapat menjadi SDA yang tidak dapat diperbaharui sebagai akibat dari pemakaiannya yang boros dan kkurang bertanggung jawab.
Sedangkan sumber daya tanah (kesuburan tanah) menggambarkan gabungan antara sifat SDA yang dapat diperbaharui, yang tidak dapat diperbaharui, maupun sumber daya biologis.

3. Pengelompokan lain sumber daya alam
Sumber daya alam dapat dikelompokkan lagi atas dasar pengelolaannya yaitu, sumber daya yang dokelola oleh pemerintah atau dikelola oleh swasta, atau seharusnya dikelola oleh swasta tetapi pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah.
Sumber daya alam seperti batru bara, minyak, dan biji besi dapat diperlakukan sebagai barang pribadi (private goods), sedangkan udara dan air sebagai barang public (public goods).

Penggfolongan lain SDA dapat dilihat dari sudut penguasaan terhadap sumber daya (property right) yaitu dibedakan menjadi sumber daya milik individu (private property resources) dan sumber daya milik umum (common property resources). Sumber daya alam milik individu jelas penguasaannya dibawah seseorang atau badan, sedangkan SDA milik umum penguasaannya menjadi jelas apabila sumber daya tersebut sudah ditangkap atau dikuasai oleh seseorang atau suatu badan.

Sumber daya milik umum adalah sumber daya bukan milik siapapun dan berarti pula sumber daya milik setiap orang. Oleh karena itu sumber daya milik umum memiliki kecenderungan untuk segera habis atau punah karena adanya tragedy dari kepemilikan secara bersama.

PBB dan Bank Dunia membedakan sumber daya alam menjadi tiga golongan, yang pertama sumber daya alam yang dapat diperdagangkan seperti mineral, minyak, hutan dan sebagainya. Kedua yaitu sumber daya alam yang tak dapat diperdagangkan, seperti udara, lingkungan alami dan sebagainya. Ketiga adalah keahlian manusia.

Karakteristik penting lain dari SDA adalah penyebarannya tidak merata, di permukaan atau di dalam perut bumi. Dibeberapa tempat terdapat potensi sumber daya yang beraneka ragam dengan jumlah yang banyak sementara di daerah lain jumlahnya sedikit.

Perbedaan mendasar antara SDA yang dapat diperbaharui dan SDA yang tidak dapat diperbaharui hanya bergantung pada derajat keberadaannya. Dan dalam penggunaannya kedua SDA tersebut dapat saling melengkapi (komplementer), saling menggantikan (substitusi) dan dapat bersifat netral.

2.3 Pendekatan ekologi dalam pengelolaan sumber daya alam
Dalam seperempat abad terakhir ini masalah sumber daya alam dan lingkungan hidup telah menjadi topic hangat dalam kehidupan manusia yang berhubungan dengan masalah kebutuhan hidup manusia itu sendiri ialah masalah sumber daya alam. Hal ini tidak saja berlaku di geografis tertentu tapi persoalan semacam ini telah menjadi topic pembicaraan masyarakat dunia.
Lingkungan atau sering disebut dengan lingkungan hidup adalah semua benda hidup dan tak hidup serta kondisi yang ada dalam ruangan yang kita tempati. Manusia dan tingkah laku manusia juga merupakan bagian dari lingkungan kita masing-masing. Lingkungan dapat juga dikatakan sebagai segala sesuatu yang mengelilingi atau berada di luat suatu objek. Definisi ini kemudian dikait-hubungkan dengan manusia dengan lingkungannya yang lebih dikenal dengan lingkungan alam, meliputi : bumi, air, udara dan kekayaan alam lainnya.


- Potret Lingkungan Hidup Indonesia
Untuk sedikit menggambarkan urgenis dan kegawatan masalah lingkungan hidup di Indonesia dapat dikutip Laporan Menteri Pertanian yang disampaikan dalam rangka Pekan Penghijauan Nasional ke XX di Riai. Dikatakan bahwa sampai akhir tahun 1980 jumlah luas tanah kritis di Indonesia mencapai 40 hektar dan tanah tersebut sudah tidak dapat melaksanakan tuganya sebagai unsure produksi, mengatur tata air, pelindung tumbuhan dan hewan serta unsure tata kehidupan lainnya.
Sementara itu Menteri PPLH menyatakan bahwa keberhasilan program pengkijauan saat ini hanya mencapai 45% dari yang (pernah) ditargetkan. Berbagai penyebab kekurang-berhasilan program reboisasi dan rihabilitasi tanah pertanian dan kehutanan telah banyak didiskusikan. Tetapi kenyataannya belumlah member hasil sebagaimana diharapkan.
Kegagalan panen dan timbulnya kelaparan di musim kemarau yang terjadi sebagai akibat dari banyaknya tanah-tanah gundul. Dengan tanah –tanah yang gundul maka air hujan tidak dapat masuk ke dalam tanah. Keadaannya akan berbalik jika tanah tersebut ditanami. Atau, banjir yang sedang santernya digemborkan dari pelosok2 pedesaan. Salah satu sebabnya adalah akibat dari banyaknya tanah-tanah gundul sebagai akibat dari pembabatan hutan baik oleh penduduk maupun oleh perusahaan-perusahaan pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Penggundulan hutan oleh penduduk dalam rangka memenuhi kebutuhan akan energinya, untuk perladangan berpindah maupun sebagai mata pencaharian. Di lain pihak, penebangan hutan oleh perusahaan pemegang HPH tidak lain sebagai “mencari keuntungan” dengan tanpa melakukan penghijauan kembali.
Di Negara-negara industry, perusakan lingkungan disebabkan oleh perkembangan industry dan perkotaan. Sedangkan di Indonesia dan di banyak Negara berkembang lainnya, perusakan lingkungan hidup disebabkan oleh desakan pertambahan penduduk dan kemiskinan serta usaha-usaha untuk memodernisasi masyarakat.

- Sumber daya alam : dan Pasal 33 ayat 3
Dalam membicarakan sumber daya alam yang dicoba-kaitakn dengan system ekonomi pancalisa, maka visi kita tidak boleh dilepaskan dari adanya pasal 33 aya 3 UUD 1945, yang berbunyi:
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dari sana dapatlah ditarik kesimpulan bahwa: bumi, air, dan kekayaan alam lainnya yang terkandung di dalam bumi Indonesia merupakan pokok-pokok kemakmuran rakyat.
Secara implicit dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 terkandung maksud pemilikan, pengelolaan dan pengusahaan sumber daya alam oleh individu sangatlah dimungkinkan sepanjang tidak merugikan kepentingan umum. Dengan kata lain bahwa wewenang lembaga non pemerintah dalam ‘menguasai’ sumber daya alam di atas bukanlah tanpa batas. Negara dan pemerintah mempunya wewenang untuk menguasai dan bertindak apabila kepemilikan atau akibat yang ditimbulkannya mengganggu kepentingan umum. Dapat saja terjadi karena pemilikan yang tanpa batas akan menimbulkan akibat-akibat negative yang merugikan orang banyak. Kepentingan orang banya harus diletakkan di atas kepentingan individu.

- Sumber daya alam : Suatu Strategi Jangka Panjang
Pelestarian alam dan lingkungan hidup merupakan bagian integral program pembangunan nasional dalam usaha menuju tercapainya masyarakat adil, makmur berdasar pancasila. Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan oleh MPR dengan Tap. MPR No. IV/MPR/1978 secara jelas dan tegas menyatakan bahwa dalam pelaksanaan program pembangunan di segala sector perlu diperhatikan masalah pelestarian alam dan lingkungan hidup.
Pasal 13 GBHN tentang pembangunan ekonomi sector sumber daya alam dan lingkungan hidup ayat c secara jelas menyatakan : Dalam pelaksanaan pembangunan perlu selaalu diadakan penilaian yang seksama terhadap pengaruhnya bagi lingkungan hidup, agar pengamanan terhadap pelaksanaan pembangunan dan lingkungan hidupnya dapat dilakukan sebaik-baiknya. Penilaian tersebut perlu dilakukan baik secara sektoral maupun regional dan untuk itu perlu dikembangkan criteria mutu baku lingkungan hidup.
Dengan dimasukkannya masalah sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam GBHN yang tentunya kita yakin akan tetap ada dalam GBHN-GBHN periode mendatang, dapatlah disebut sebagai suatu jangka panjang.
Sebagai tindak konkrotnya, dan dari kesungguhan pemerintah untuk menangani masalah lingkungan hidup di Indonesia, pemerintah telah menunjuk adanya Menteri PPLH dalam cabinet yang sedang berjalan.
Aspek kelembagaan lain yang ditempuh adalah penanganan lewat wakil-wakil rakyat di DPR. Namun demikian kesadaran dan kesungguhan wakil-wakil rakyat tersebut dalam menggarap masalah lingkungan hidup di Indinesia belumlah menunnjukkan hasil seperti diharapkan. Sebab kenyataannya masih dijumpai perusakan lingkungan yang tampaknya malahan semakin menjadi-jadi. Ini semua tentunya akan menghambat berjalannya roda pembangunan baik langsung maupun tidak langsung.

- Sumber daya alam : dan Teknologi
Masalah sumber daya alam dan lingkungan hidup sebenarnya bukan masalah baru seperti kata kebanyakan orang. Memang terdapat perbedaan antara dulu dan kini. Dilihat dari segi waktu misalnya maka untuk waktu sekarang, dunia memang jauh lebih padat penduduknya darpiada masa lalu. Sementara laju perubahan itu sangat meningkat pesat terlebih pada seperempat abad terakhir.
Dilihat dari segi ekologi diakui bahwa dalam banyak hal masih diperlukan tindakan manusia dengan teknologinya dalam lingkungan alam. Baik itu untuk meningkatkan produksi sector pertanian maupun non pertanian. Dengan kata lain menaikkan daya dukung alam terhadap lingkungan agar lingkungan tersebut dapat dan mampu memberikan kehidupan kepada lebih banyak orang menuju pda tingkat hidup yang lebih baik.
Pada waktu manusia untuk pertama kalinya bergerak di bidang pertanian misalnya, jumlah penduduk hanya 10juta orang. Semenjak itu, serangkaian inovasi di bidang teknologi telah menyebabkan kapasitas produksi umumnya dan produksi khususnya meningkat dengan berlipat ganda. Dan selama 300 tahun terakhir ini, umat manusia berhasil gilang-gemilang menjauhkan berbagai batas pada perkembangan penduduk dan pertumbuhan ekonomi dengan serangkaian kemajuan masyarakat manusia akhir-akhir ini adalah sejarah keberhasilan terus-menerus, wajarlah kalau banyak orang yang mengira bahwa kemajuan teknologi akan bias menjauhkan batas-batas fisik selama-selamanya. Mereka ini berbicara dengan nada penuh keyakinan tentang teknologi.
Di pihak lain, kita harus mengakui bahwa bilamana kita sekarang memikirkan lebih lanjut kehidupan manusia dalam perkembangan dunia maka kita menyadari betapa kemajuan dan kesejahteraan manusia memang terpengaruh sekali oleh hubungan timbale balik antara peranan sumber daya manusia dan peranan teknologi yaitu cara dan teknik bagaimana manusia dapat mempergunakan san mengandalkan keadaan sekitar.
Lingkungan hidup menempati tempat cukup terhormat. Sebab lingkungan hidup dipandang sebagai sesuatu yang bersifat meta ekonomi ialah sesuatu yang ada di belakang ilmu ekonomi itu sendiri.
Schumacher, seorang konseptor apa yang disebut dengan intermediate technology, menyatakan bahwa ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari lingkungan hidupnya. Seperti diketahui bahwa ilmu ekonomi mempelajari tentang alternative pilihan. Jika persediaan sumber daya alam telah langka maka harganya meningkat dan akhirnya akan mengurangi penggunaannya dan sekaligus menimbulkan insentif untuk mencari sumber daya pengganti.
2.4 Pengelolaan Sumber Daya Alam
Seperti yang kita ketahui bahwa sumber daya alam dapat di kelompokkan menjadi sumber daya alam yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui. Hal ini merupakan fakta yang mengatakan bahwa sumber daya alam mengalami kelangkaan ketika sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui secara terus menerus di eksploitasi. Banyak hal yang menyebabkan kelangkaan sumber daya alam antara lain, melakukan deplisi dimana hal ini merupakan pengambilan sumber daya alam secara berlebihan. Dengan demikian untuk menjaga sumber daya alam ini maka perlulah adanya pengelolaan yang dapat berupa konservasi terhadap sumber daya alam. Hal ini dapat menghemat sumber daya alam serta dapat menjaga dan melestarikan sumber daya alam di Indonesia.

2.5 Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Prespektif Otonomi Daerah
Indonesia merupakan Negara yang kaya potensi sumber daya alam, memiliki daratan yang luas yang terdiri atas 17.508 pulau dan laut yang luas. Daratannya ditumbuhi dengan hutan tropis seluas kurang lebih 139 juta ha yang ditumbuhi berbagai jenis flora dam sebagai habitat berbagai jenis fauna. Di samping itu masih terdapat kekayaan yang tersimpan dalam perut bumi seperti minyak, gas bumi, dan berbagai bahan mineral. Potensi sumber daya alam tersebut dikelola dengan baik dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Namun fakta menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya alam yang sekama ini dilaksanakan belum diperumntukkkan bagi sebsar-besarnya kemakmuran rakyatdeperti yang diamanatkan UUD1945. Penguasaan dan manfaat sumber daya alam hanya dinikmati oleh segelintir masyarakat. Letidakadilan tersebut terjadi sebagi akibat dari adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan bertanggung jawab pada presiden.
Dalam konteks otonomi daerah berdasarkan undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan undang-undang nomor 25 tahun 1999 yang telah dilaksanakan secara efektif bulan januari 2001, diyakini banyak orang akan membawa harapan baru bagi masa depan ekonomi, terutama ekonomi daerah.

2.5.1 Makna otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Nomor 25 Tahun 1999
otonomi daerah menurut UU No.22 tahun 1999 adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memuat tentang Pemerintahan Daerah yang intinya tentang Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah (power sharing), sedangkan UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (financial sharing).
Otonomi daerah menurut UU 22/1999 mempunyai penekanan yang sangat berbeda dengan otonomi daerah (OTDA) pada masa lampau. Penekanan OTDA pada masa lampau lebih merupakan kewajiban dari pada hak, sedangkan OTDA sekarang lebih menekankan hak dan kewajiban. Dalam UU 22/1999 pemberian otonomi daerah kepada kabupaten/kota didasarkan pada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Makna OTDA adalah mempercepat terselenggaranya pelayanan public serta fasilitas kepada masyarakat agar percepatan pertumbuhan ekonomi dapat dicapai.
Dengan kedua UU tersebut dapat membuka peluang untuk mempercepat terwujudnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah secara lebih merata. Hal disebabkan karena terjadinya migrasi capital dan investasi dari pusat ke daerah-daerah. Pelaksanaan OTDA diharapkan dapat meningkatkan peran pemerintah daerah secara lebih efisien dan efektif dalam pengelolaan dan penanganan sumber daya alam. Dengan OTDA pemerintah daerah akan memperoleh bagian dana pembangunan secara lebih proposional. Daerah dapat lebih leluasa dalam menentukan skala prioritas pembangunan daerahnya, tanpa harus didikte oleh pusat.
Selain itu kedua UU apabila dilaksanakan dengan tepat, dapat memberikan harapan dan prospek yang baik bagi penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat ke depan. Dari sisi penyelenggaraan masyarakat dengan adanya pelimpahan kewenangan, maka pengambilan kebijakan dapat didekatkan dengan masyarakat. Dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat akan semakin memenuhi keinginan masyarakat, teratur, efektif dan efisien.
Dilihat dari dukungan pembiayaan, penyelenggaraan OTDA di berbagai daerah mempunyai prospek yang baik karena disamping mempunyai wilayah yang luas, juga terkandung SDA yang potensial. Secara mendasar sumber daya alam masih menjadi komponen sumber pendapatan daerah yang signifikan, yang tercermin dari dana perimbangan keuangan. Antara lain meliputi bagian daerah dari pembinaan PBB, BPHTB, SDA, alokasi umum dan alokasi khusus. Sumber pendapatan daerah yang berasal dari perimbangan keuangan merupakan komponen yang terbesar apabila dikelola secara optimal, sebagai contoh 80% dari penerimaan Negara dari SDA sector kehutanan, pertambangan umum dan sector perikanan akan diberikan kepada daerah.
Dengan demikian penyelenggaraan OTDA diharapkan menjadi instrument untuk mengoptimalkan pemberdayaan sumber daya daerah, sehingga pada gilirannya daerah mampu menjadi pusat kegiatan ekonomi dan pembangunan. Dalam kaitan ini, maka keberhasilan penyelenggaraan OTDA akan sangat tergaantung kepada kemampuan potensi dan sumber daya daerah (SDM dan SDA) serta infra struktur dan supra struktur lainnya yang ada di daerah.
2.5.2 Potensi Permasalahan Pengelolaan Sumber Daya Alam Di Era Otonomi Daerah
Sumber daya alam merupakan modal penting dalam menggerakkan roda pembangunan di suatu daerah, baik dalam konteks Negara, provinsi ataupun kabupaten. Oleh karenanya, aspek pemanfaatan sumber daya alam merupakan suatu yang sangat strategis dalam menentukan jumlah penerimaan atau tingkat konstribusinya dalam pembentukan modal pembangunan. Pengelolaan SDA dalam prespektif Otonomi Daerah pada dasarnya adalah power sharing kewenangan pengelolaan SDA antara pemerintah dengan privinsi dan kabupaten/kota.
Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan pendayagunaan sumber daya alam strategis berada pada Pemerintah Pusat (Pasal 7), walaupun demikian daedrah berwenang untuk mengelola sumber daya nasional (sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia) yang tersedia di wilayahnya (Pasal 10 dan penjelasannya).
Beberapa masalah yang mungkin timbul sehubungan dengan adanya otonomi ini antara lain adalah:
1. Timbulnya daerah miskin dan kaya. Seperti telah dikemukakan penyebaran SDA di Indonesia tidak merata sehingga akan terdapat daerah yang kaya dan miskin potensi SDA. Secara nasional kemungkinan akan menimbulkan ketimpangan kesejahteraan.
2. Konflik pemanfaatan sumber daya lintas kabupaten/kota. Misalnya, pemanfaatan sungai atau daerah tangkapan hujan di daerah hulu, dapat berdampak negative terhadap kabupaten di daerah hilir. Sementara, pemeliharaan sungai atau daerah tangkapan hujan yang dilakukan oleh kabupaten di daerah hulu belum tentu mendapat insentif dari kabupaten daerah hilir. SDA lainnya adalah utan dan mineral yang terdapat dalam satui hamparan yang berbatasan antar kabupaten.
3. Konflik pemanfaatan sumber daya open access (laut), misalnya nelayan yang berasal dari suatu kabupaten tidak boleh mengambil ikan di wilayah perairan kabupaten lain.
4. Pengurasan SDA. Untuk mengejar ketertinggalannya suatu kabupaten/kota akan mengeksploitasi sumber daya secara besar-besaran untuk mendapatkan dana pembangunan, mengorbankan kepentingan jangka panjang untuk kepentingan jangka pendek.
5. Potensi sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia antara lain ditentukan dengan penguasaan ilmu, teknologi, dan informasi. Kita harus mengakui realita bahwa masih banyak daerah-daerah potensi sumber daya manusianya masih rendah. Ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas, efektivitas, dan efisiensi pemanfaatan SDA.
Pembangunan di suatu daerah otonom memperlihatkan kecenderungan untuk meletakkan tekanan utama pada maksimisasi manfaat ekonomi bersih (net economic benefit) sebagai criteria bagi pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam. Pada sector kehutanan, Suhendang (2000) mengkhawatirkan otonomi daerah akan mendorong terjadinya fragmentasi lahan hutan produksi ke dalam bagian-bagian ekosisten dan kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan yang sempit. Hal ini terjadi sebagai akibat tingginya tuntutan pemerintah daerah terhadap hutan guna memenuhi kebutuhan dana yang bersifat segera untuk membiayai pembangunan daerah. Hal ini mungkin juga terjadi pada SDA alam yang lain.
2.5.3 Strategi Pengelolaan Sumber Daya Alam
Formulasi pemecahan berbagai problem dasar teresbut memerlukan berbagai pemikiran dan diskusi untuk mencari pemecahannya. Kerja keras yang sistematis dan terus menerus sangat diperlukan untuk mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi daerah. Partisipasi aktif dari semua lapisan masyarakat untuk menggalang sumber daya sangat diperlukan. Oleh karena itu kesiapan masing-masing daerah dalam menyikapi pemberlakuan undang-undang tersebut sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah.
Ditinjau dari sudut ekonomi, SDA merupakan bahan baku yang dapat dijadikan barang dan jasa untuk memuaskan kebutuhan hidup. sedangkan ditinjau dati sudut ekologi, SDA merupakan komponen ekosistem (biotic dan abiotik) yang sangat berperanan sebagai llife support system manusia dan selalu berada dalam keadaan keseimbangan yang dinamis. Sebagai komponen ekosistem, seluruh jenis SDA saling berinteraksi satu sama lain, perubahan yang terjadi pada salah satu komponen akan menyebabkan terjadinya perubahan pada komponen yang lain. Apabila perubahan, yang terjadi melebihi daya lentingnya, maka keseimbangan ekosistem tersebut akan berubah menuju keseimbangan yang baru. Karena karakteristik dan kelangsungan ekonomi suatu Negara ditentukan oleh SDA-nya maka perubahan yang terjadi pada ekosistem (lingkungan) akan berdampak pada perubahan ekonomi.
Pengelolaan sumber daya alam berkaitan dengan proses produksi dan konsumsi yang tunduk pda hokum thermodinamika I dan hokum thermodinamika II. Sebagai implikasinya jika kita ingin melaksanakan pembangunan berkelanjutan, maka pengelolaan sumber daya alam tersebut perlu dilakukan secara bijaksana, yaitu dengan mempertimbangkan dan mendasarkan pada karakteristik sumber daya alam yang bersifat spesifik. Menurut Owen (1980) pengelolaan SDA hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Tanggung jawab pribadi; tanggung jawab seorang warga Negara yang demokratis ditandai dengan rasa tanggung jawab dalam menjalankan kewajiban terhadap pemerintah, sesame manusia, dan SDA.
2. Peranan pemerintah; pemerintah (government sebagai regulator dalam pengelolaan sumber daya alam mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu pemerintah harus mampu menciptakan suatu system yang dapat menjamin pemanfaatan SDA secara tepat.
3. Penggunaan ganda suatu sumber daya; ketersediaan SDA umumnya terbatas untuk meningkatkan manfaat SDA dan menghindari konflik kepentingan, maka sedapat mungkin SDA dipergunakan secara ganda.
4. Investarisasi dan proyeksi penggunaan sumber daya; inventarisasi yang menyeluru dan proyeksi penggunaan SDA dapat memperkirakan tingkat kecukupan SDA dan tindakan-tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaannya.
5. Hubungan pertautan antar sumber daya; antara SDA yang satu dengan yang lain terjalin suatu keterkaitan, perubahan yang terjadi pada suatu SDA akan menyebabkan perubahan terhadap SDA lainnya.
Untuk menjamin adanya sumber daya alam bagi pembangunan yang berkelanjutan, perlu diambil langkah-langkah strategis sebagai berikut (Suparmoko, 1995):
1. Meneliti kondisi serta masalah yang berkaitan dengan sumber day alam termasuk tingkat eksploitasi dan penggunaannya, kemudian memperkirakan kecenderungan dalam jangka panjang, dan menentukan tingkat jaminan tersedianya sumber daya alam itu bagi pembangunan dalam jangka panjang dengan cara menciptakan kembali maupun meningkatkan ketersediaannya.
2. Mengubah teori dan praktek pemberian nilai terhadap setiap barang yang ada. Pemberian nilai yang tinggi terhadap hasil produksi akhir, dan milai yang rendah terhadap bahan mentah, serta tanpa nilai bagi sumber daya alam, harus segera diganti dengan cara member nilai yang tepat pada sumber daya alam.
3. Membuat studi mengenai neraca sumber daya alam dan aplikasinya dalam system neracca nasional, sehingga akan memperbaiki system neraca nasional yang hanya mencatat kenaikan produksi tanpa melihat berkurangnya atau bertambahnya persediaan sumber daya alam.
4. Memperjelas hak pemilikan sumber daya alam untuk menghindari pemborosan penggunaan sumber daya alam dengan mempertimbangkan kondisi masa kini dan masa datang.
5. Mengadakan studi mengenai perlindungan sumber daya alam dan ingkungan dengan cara memanfaatkan sumber daya alam secara rasional, sebab rusaknya lingkungan dan ekologi adalah akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab.
6. Membuat studi mengenai bagaimana melindungi, mengembangkan, menyimpan serta memperbanyak persediaan sumber daya alam melalui investasi social, seperti pendidikan dan latihan.
Berkaitan dengan permasalahan yang mungkin timbul sehubungan dengan otonomi daerah sebagaimana telah dibahas, upaya pemanfaatan SDA perlu antara lain mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Riyadi, 2000):
1. Perlunya legal frame work dan law enforcement berskala nasional maupun regional yang mampu mewadahi pemanfaatan SDA secara lintas daerah dalam kerangka terpadu secara nasional yang akan mengurangi konflik antar daerah.
2. Perlunya legal frame work dan law enforcement berskala nasional maupun regional yang mendukung upaya pemanfaatan SDA secara berkelanjutan dan ramah lingkungan sehingga mampu mengurangi distorsi pengelolaan ekonomis terhadap keberlanjutan ekosistem yang sehat dan berimbang.
3. Perlunya peningkatan keterlibatan aktif segenap untuk mewakili masyarakat dalam melakukan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan SDA.
4. Perlunya upaya percepatan pengembangan wilayah yang utuh dan terpadu sesuai dengan potensi local bagi daerah yang tidak memiliki SDA strategis dan vital.
Hal lain yang sangat diperlukan adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan sumber daya manusia tidak hanya terbatas pada penguasaan ilmu, teknologi, dan informasi tetapi yang lebih penting lagi adalah “moral”. Untuk ini perlu diciptakan sestem nilai dan institusi (misalnya mengembangkan system insentif, reward dan punishment) yang mendorong self responsibility yang tinggi pada kalangan aparat dan seluruh lapisan masyarakat.
Menurut Rasyid (2000) untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan persamaan persepsi dari semua pihak dalam menjabarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999. Sedangkan untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan sebagai akibat meningkatnya wewenang dan tanggung jawab daerah, perlu diciptakan rambu-rambu pelaksanaannya dan meningkatkan peran pengawasan secara efektif.

2.6 Pengelolaan Sumber Daya Alam Lintas Regional
Pelaksanaan Pembangunan secara umum memerlukan dukungan sumber daya alam, sumber daya manusia, dan teknologi Gilpin mendefinisikan pembangunan sebagai upaya mengaplikasikan sumber daya manusia, fisik, alam dan financial untuk memenuhi kebutuhan pasar yang efektif atau prospektif dan kebutuhan manusia lainnya. Pembangunan juga adalah fungsi dari sector swasta dan public. Kegiatan pembangunan dapat merupakan kegiatan yang bermotifkan keuntungan dan atau social.
Pembangunan di berbagai Negara berupaya mengelola sumber daya yang ada untuk memenuhi kebutuhan manusia dan meningkatkan kesejahteraannya. Sumber daya alam banyak dimanfaatkan oleh manusia melalui teknologinya untuk memenuhi kebutuhan, sehingga tidak dipungkiri sumber daya alam menjadi titik berat modal pelaksanaan pembangunan. Perkembangan sains dan teknologi saat telah mengabukan batasan dari kategori suatu sumber daya alam. Batasan sumber daya alam yang non- exhaustable, renewable, dan exhaustable dalam kenyataannya tidak dapat didefinisikan lagi dengan jelas, karena kategori suatu sumber daya alam lebih bersifat dinamis dan sangat ditentukan oleh perkembangan system (lingkungan) yang ada di sekitarnya. Beberapa karakteristik umum yang perlu diperhatikan berkaitan dengan sumber daya alam:
1) Sumber daya alam bersifat dinamis
Perubahan yang terjadi dalam informasi, ilmu, dan teknologi memungkinkan suatu sumber daya yang sebelumnya tidak bermanfaat menjadi berguna.
2) Sumber daya alam memiliki kelangkaan
Artinya ketersediaan jumlah sumber daya alam terbatas dibandingkan dengan jumlah yang diinginkan.
3) Sumber daya alam multidimensi
Sumber daya alam multidimensi yang mencakup dimensi jumlah , kualitas, ruang, dan waktu. Perbedaan dimensi dalam sumber daya alam yang sama menyebabkan distribusi dan alokasi sumber daya alam sumber daya alam antar wilayah tidak sama.
4) Hubungan sumber daya alam dengan sumber daya alam lain dan lingkungannya bersifat dependen
Artinya perubahan yang terjadi dalam satu sumber daya alam akan mempengaruhi performance sumber daya alam lainnya. Prinsip keseimbangan ekosistem menjadi dasar dalam pengelolaan sumber daya berlanjut

Kemajuan peradaban bangsa di dunia sering terkait dengan beberapa besar sumber daya alam mampu menopang aktifitas pembangunnya, sebaliknya, kehancuran peradaban sering dimulai dari hancurnya sumber daya alam. Kejadian tragedy of Saba merupakan contoh dari sangat besarnya perana sumber daya alam, yaitu sumber daya air dalam kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia atau bangsa. Kerajaan saba merupakan negeri yang makmur karena landasan ekonominya kuat berbasiskan pertanian. Bendungan Ma’rib dibangun menjadi pusat waduk dan system pembagian air yang mampu mengubah tanah di sana menjadi kebun pertanian yang subur. Namun setelah 13 abad, pada tahun 570 masehi bendungan tersebut runtuh menghancurkan sector pertanian yang telah manjadi andalan sumber pendapatan pembangunannya. Rusaknya bendungan menimbulkan bencana yang mengerikan yaitu hancurnya sebuah peradaban bangsa. Adapun beberapa sumber daya alam secara umum memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi ekonomi dan sosia budaya
Selain sebagai sumber ekonomi keberadaan sumber daya alam pun menjadi sarana berlangsungnya kegiatan social atau budaya. Contohnya, keberadaan hutan di dalam pandangan beberapa suku memiliki fungsi psychophysiologic ( sebagai inspirasi sumber daya kepercayaan dan aktifitas religious lainnya). Educational and scientific services (pendidikan lingkungan, penelitian), dan source of land and living space ( sumber lahan dan tempat tinggal suku pedalaman).
b. Fungsi ekologis atau system penyagga kehidupan
Dalam ekosistem yang masih alami, komponen-komponen sumber daya alam yang ada selalu berupaya mencapai tingkat keseimbangan. Keseimbangan diperlukan untuk menjamin berlangsungnya aktifitas makhluk idup dan lingkungan di biosfir ini secara wajar. Adanya degradasi dalam suatu sumber daya alam akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem tersebut. Contoh keberadaan sumber daya alam sebagai system penyangga kehidupan adalah hutan.

2.6.1 Pandangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Tidak semua orang memiliki pandangan yangsama terhadap pengelolaan sumber daya alam. Latar belakang pendidikan, kebudayaan, social dan ekonomi berpengaruh terhadap perilaku personal dalam pengelolaan sumber daya alam. Pandangan tentang upaya untuk mengelola sumber daya alam terdiri dari kelompok :
a) Preservationist
Bagi preservationist mengelola sumber daya alam cenderung membiarkan alam untuk mengatur sistemnya tanpa intervensi manusia, sehingga keberadaan alam semata-mata hanya diperuntukkan untuk kepentingan prepervasi.
b) Conservationist
Kelompok conservationist berada diantara perspektif preservationist dan exploiter, yaitu menghendaki pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana dengan menyelaraskan kepentingan ekonomi dan ekologis.
c) Exploiter
Kelompok exploiter memandang sumber daya alam sebagai energy. Perspektif ini menjadikan alam sebagai sumber ekonomi. Pertimbangan ekonomi lebih mendominasi kelompok exploiter, bahkan cenderung mengabaikan prinsip- prinsip kelestarian sumber daya alam.

2.6.2 Pentingnya Pengelolaan Sumber Daya Alam Lintas Regional
Sumber daya alam secara geografis di permukaan bumi menyebar tidak sama, sehingga tidak semua wilayah memiliki potensi sumber daya alam yang sama. Oleh karena itu pengelolaan sumber daya alam lintas regional haruslah di sadari sebagai konsekuensi alami dari disparitas sumber daya alam. Pemahaman disparitas potensi sumber daya dapat dijadikan dasar membangun kerja sama lintas regional yang saling menguntungkan antar daerah.
Pertimbangan perlunya pemahaman tentang pengelolaan sumber daya alam lintas regional dilatarbelakangi oleh hal-hal sebagai berikut:
a) Distribusi dan alokasi sumber daya alam yang tidak merata secara spasial berpotensi menimbulkan konflik antar regional. Mekanisme alokasi sumber daya alam yang rasional menjadi landasan system pengaturan dan pengelolaan sumber daya lintas regional.
b) Aliran sebagian sumber daya alam bersifat dinamis menurut ruang dan waktu
c) Pemanfaatan sumber daya alam menimbulkan eksternalitas yang dirasakan tidak hanya oleh masyarakat dimana suda itu diusahakan tetapi juga masyarakat yang berada di luar.
d) Penguasaan sumber daya alam secara ekslusif oleh satu regional berdampak pada kinerja pembangunan daerah lainnya dan memicu pertikaian regional
e) Kelangkaan dan perbedaan stock sumber daya alam di satu wilayah memerluka pasokan sumber daya alam dari wilayah lainnya. Disparitas atas wilayah dari sumber daya alam merupakan hal umum dalam pembangunan regional.

2.7 Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat Adat, Tantangan dan Peluang

a) Kearifan Tradisional: Awal bagi Pengabdian pada Keberlanjutan Kehidupan
Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan kehidupannya sebagai "bangsa". Hal ini bukan semata-mata karena posisinya sebagai salah satu negara terkaya di dunia dalam keanekaragaman hayati (mega-biodiversity), tetapi justru karena keterkaitannya yang erat dengan kekayaan keanekaragaman budaya lokal yang dimiliki bangsa ini (mega-cultural diversity). Para pendiri negara-bangsa (nation-state) Indonesia sejak semula sudah menyadari bahwa negara ini adalah negara kepulauan yang majemuk sistem politik, sistem hukum dan sosial-budayanya. Semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" secara filosofis menunjukkan penghormatan bangsa Indonesia atas kemajemukan atau keberagaman sistem sosial yang dimilikinya.
Ketergantungan dan tidak-terpisahan antara pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati ini dengan sistem-sistem sosial lokal yang hidup di tengah masyarakat bisa secara gamblang dilihat dalam kehidupan sehari-hari di daerah pedesaan, baik dalam komunitas-komunitas masyarakat adat yang saat ini populasinya diperkirakan antara 50 – 70 juta orang, maupun dalam komunitas-komunitas lokal lainnya yang masih menerapkan sebagian dari sistem sosial berlandaskan pengetahuan dan cara-cara kehidupan tradisional. Yang dimaksudkan dengan masyarakat adat di sini adalah mereka yang secara tradisional tergantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Batasan ini mengacu pada "Pandangan Dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nusantara" tahun 1999 yang menyatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun-temurun di atas satu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa masyarakat adat di Indonesia secara tradisional berhasil menjaga dan memperkaya keanekaan hayati alami. Adalah suatu realitas bahwa sebagian besar masyarakat adat masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem-sistem lokal ini berbeda satu sama lain sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun. Kearifan tradisional ini, misalnya, bisa dilihat pada komunitas masyarakat adat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau Kimaam di Kabupaten Merauke, Irian Jaya. Di berbagai komunitas adat di Kepulauan Maluku dan sebagian besar di Irian Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tata guna) dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, lengkap dengan pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal ini bekerja secara efektif. Sampai saat ini hanya sebagian yang sangat kecil saja yang dikenal dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh di antaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenis-jenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat "Orang Dayak" di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur.
Dari keberagaman sistem-sistem lokal ini bisa ditarik beberapa prinsip-prinsip kearifan tradisional yang dihormati dan dipraktekkan oleh komunitas-komunitas masyarakat adat, yaitu antara lain:
1) Ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungan dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya;
2) Penguasaan atas wilayah adat tertentu bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan dan/atau kepemilikan bersama komunitas (comunal property resources) atau kolektif yang dikenal sebagai wilayah adat (di Maluku dikenal sebagai petuanan, di sebagian besar Sumatera dikenal dengan ulayat dan tanah marga) sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengelolanya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitasi pihak luar. Banyak contoh kasus menunjukkan bahwa keutuhan sistem kepemilikan komunal atau kolektif ini bisa mencegah munculnya eksploitasi berlebihan atas lingkungan lokal;
3) Sistem pengetahuan dan struktur pengaturan ('pemerintahan') adat memberikan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya hutan;
4) Sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh orang luar komunitas;
5) Mekanisme pemerataan distribusi hasil "panen" sumberdaya alam milik bersama yang bisa meredam kecemburuan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Prinsip-prinsip ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuan-temuan pengalaman masyarakat adat selama ratusan tahun. Karenanya, prinsip-prinsip ini pun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum dan pranata atau institusi masyarakat adat yang bersangkutan. Bagaimana pun, komunitas-komunitas masyarakat adat ini telah bisa membuktikan diri mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada. Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefenisikan dan menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi kebutuhannya seperti pengobatan, penyediaan pangan, dan sebagainya. Masa depan keberlanjutan kehidupan kita sebagai bangsa, termasuk kekayaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, berada di tangan masyarakat adat yang berdaulat memelihara kearifan adat dan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya alam yang sudah terbukti mampu menyangga kehidupan dan keselamatan mereka sebagai komunitas dan sekaligus menyangga fungsi layanan ekologis alam untuk kebutuhan mahluk lainnya secara lebih luas. Keberpihakan terhadap kearifan tradisional dengan segala pranata sosial yang mendukungnya merupakan modal awal yang utama bagi pengabdian kita terhadap keberlanjutan kehidupan kita di Indonesia.
b) Kearifan Tradisional: Membutuhkan Pemulihan
Memahami kondisi terkini kearifan tradisional dan nilai-nilai budaya lokal tidak bisa dipisahkan dari kondisi pemilik dan pengguna utamanya, yaitu masyarakat adat. Mereka adalah satu satu kelompok utama penduduk negeri ini yang paling banyak menderita (dirugikan) dari segi nilai materil dan spritual atas penerapan politik pembangunan yang selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir. Penindasan terhadap masyarakat adat ini terjadi baik di bidang ekonomi, politik, hukum, maupun di bidang sosial dan budaya lainnya.
Kondisi ini menjadi demikian ironis karena pada kenyataannya masyarakat adat merupakan elemen terbesar dalam struktur negara–bangsa (nation-state) Indonesia. Hanya saja bangunan "negara-bangsa" yang majemuk ("Bhinneka Tunggal Ika") sebagaimana digagas oleh Para Pendiri ini telah dihianati begitu saja oleh para penerusnya, yaitu dengan merampas secara sistematis hak-hak masyarakat adat yang merupakan struktur dasar "negara-bangsa" yang majemuk. Namun dalam hampir semua keputusan politik nasional, eksistensi komunitas-komunitas adat ini belum terakomodasikan, atau bahkan secara sistematis disingkirkan dari proses-proses dan agenda politik nasional. Dengan berbagai kebijakan dan produk hukum yang dikeluarkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, negara secara tidak adil dan tidak demokratis telah mengambil-alih hak asal usul, hak atas wilayah adat, hak untuk menegakkan sistem nilai, ideologi dan adat istiadat, hak ekonomi, dan yang paling utama adalah hak politik masyarakat adat. Perangkat-perangkat kebijakan dan hukum diproduksi untuk memaksakan uniformitas dalam semua bidang kehidupan. Kedaulatan negara ditegakkan secara represif dengan mengabaikan kedaulatan masyarakat adat untuk mengatur dan mengembangkan kemandirian kultural dan politik di dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di bidang ekonomi ditemukan berbagai kebijakan dan hukum yang secara sepihak menetapkan alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam yang sebagian besar berada di dalam wilayah-wilayah adat, di bawah kekuasaan dan kontrol pemerintah. Berbagai peraturan perundangan sektoral, khususnya yang dikeluarkan selama pemerintahan otoriter Orde Baru Soeharto dan Habibie seperti Undang-Undang (UU) Kehutanan, UU Pertambangan, UU Perikanan, UU Transmigrasi dan UU Penataan Ruang, telah menjadi instrumen utama untuk mengambil-alih sumber-sumber ekonomi yang dikuasai masyarakat adat dan kemudian pengusahaannya diserahkan secara kolusif dan nepotistik kepada perusahaan-perusahaan swasta yang dimiliki oleh segelintir elit politik dan kroni-kroninya.
Berhembusnya angin "reformasi" sampai hari ini juga tidak merubah kebijakan dan hukum dalam pengelolaan sumberdaya alam. Energi dan kekuasaan yang dipegang oleh para pemimpin lembaga penyelenggara negara yang dipilih secara demokratis, yang mestinya digunakan untuk mengganti total peraturan per-UU-an peninggalan Orde Baru, justru lebih sibuk mengurus dirinya sendiri dan saling menjatuhkan satu sama lain. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang memiliki fungsi legislasi yang kuat, boleh dikatakan belum melakukan kewajibannya, khususnya yang berkaitan dengan legislasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan penataan sistem politik nasional ke arah demokrasi yang partisipatif (participatory democracy). Perkembangan "reformasi" seperti ini tetap saja tidak memberikan "ruang" bagi sistem-sistem lokal untuk bekerja mengatur dirinya dan mengelola sumberdaya dan keanekaragaman hayati sesuai dengan prinsip-prinsip kearifan tadisional.
Sampai saat ini, sangat sedikit sekali dari para ekonom dan praktisi pembangunan yang mau mengakui bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia telah menjadi korban pembangunan. Kelompok ini masih sulit menerima bahwa kemiskinan dan ketertindasan masyarakat adat yang ada saat ini justru bersumber dari pembangunan, bukan karena mereka malas atau tidak rasional. Manifestasi kekuasaan kelompok pemuja pembangunan ini bisa dilihat dari respon terhadap penanganan kemiskinan dan penindasan masyarakat adat masih sangat dangkal dan parsial, yaitu dengan hanya sekedar mengedepankan konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu suatu upaya untuk "mendamaikan" konflik antara pertumbuhan ekonomi dengan konservasi alam. Pendekatan baru ini, yang juga meneruskan cara pandang bahwa alam (sebagai ekosistem) sebagai barang ekonomi yang bisa dinilai dengan uang (valuasi). Cara pandang ini sungguh ketinggalan jaman dibanding nilai-nilai dan pandangan holistik yang masih hidup di masyarakat adat, khususnya mereka yang relatif belum terhegemoni dengan materialisme.
Lebih mengenaskan lagi, dua tahun terakhir ini kita pun dipaksa menyaksikan semakin maraknya konflik-konflik horisontal (antar kelompok masyarakat) yang memakan korban ribuan orang yang secara langsung dan tidak langsung bersumber dari ketidak-adilan dan pemiskinan struktural yang dialami masyarakat adat. Kembali lagi, pada situasi yang seperti ini, kita menjadi lupa akar persoalan struktural yang "menyemai benih dan menumbuh-suburkan" konflik-konflik horisontal, termasuk ketidak-adilan dan pelanggaran hak azasi manusia yang terkandung dalam banyak Undang-Undang sektoral yang mengatur tentang sumberdaya alam.
Kebijakan ekonomi, khususnya dalam alokasi dan pengelolaan sumberdaya alam, yang hanya memihak kepentingan modal ini nyata-nyata telah berdampak sangat luas terhadap kerusakan alam dan kehancuran ekologis. Korban pertama dan yang utama dari kehancuran ini adalah masyarakat adat yang hidup di dalam dan sekitar hutan, di atas berbagai jenis mineral bahan tambang, mendiami pesisir dan mencari penghidupan di laut. Kebijakan sektoral yang ekstraktif (kuras cepat sebanyak-banyaknya, jual murah secepatnya) tidak memberi kesempatan bagi kearifan adat untuk mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan, sebagaimana yang telah dipraktekkan selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Pengetahuan dan kearifan lokal dalam mengelola alam sudah tidak mendapat tempat yang layak dalam usaha produksi, atau bahkan dalam kurikulum pendidikan formal. Dunia farmakologi tidak mencoba mengangkat kearifan masyarakat adat di bidang tumbuhan obat sebagai bagian utama bidang perhatiannya. Ramuan tradisional, jamu dan sejenisnya dianggap sekunder atau malah diremehkan. Padahal telah terbukti ketika sistem pengobatan modern gagal memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan, jamu dan teknik-teknik pengobatan tradisional lainnya lalu menjadi alternatif yang dapat diandalkan.
Selain mengambil alih secara langsung sumberdaya ekonomi primer berupa tanah dan sumberdaya alam di dalamnya, pemerintah melalui berbagai kebijakan perdagangan hasil bumi secara sistematis mengendalikan kegiatan ekonomi masyarakat adat. Pemberian monopoli kepada asosiasi atau perusahaan tertentu dalam perdagangan komoditas yang diproduksi masyarakat adat, seperti rotan dan sarang burung walet, telah menempatkan pemerintah sebagai "pelayan" bagi para pemilik modal untuk merampas pendapatan yang sudah semestinya diperoleh masyarakat adat.
Di bidang politik, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya sebagai unsur pembentuk Bangsa Indonesia, masyarakat adat menghadapi situasi yang lebih sulit lagi. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran sistem pemerintahan adat yang dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang pemerintahan rejim Orde Baru. Upaya penghancuran ini secara gamblang bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang seragam di seluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sistem desa, dengan segala perangkatnya seperti LKMD dan RK/RT, secara "konstitusional" menusuk "jantung" masyarakat adat, yaitu berupa penghancuran atas sistem pemerintahan adat. Akibatnya kemampuan (enerji dan modal sosial) masyarakat adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri menjadi punah. Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di antara institusi-institusi adat digusur secara paksa sehingga yang tersisa ditangan para pemimpin adat hanya peran dalam upacara seremonial semata-mata. Peran pinggiran ini, di hampir seluruh pelosok nusantara, masih harus di atur, dan dikendalikan oleh Bupati dan Camat dengan menerbitkan Surak Keputusan (SK). Kehancuran sistem-sistem adat ini menjadi lebih diperparah lagi dengan kebijakan militerisasi kehidupan pedesaan lewat konsep pembinaan teritorial TNI dengan masuknya Bintara Pembina Desa (BABINSA) sebagai salah satu unsur kepemimpinan desa. Dengan kebijakan-kebijakan ini bisa dikategorikan bahwa negara telah melakukan pelanggaran hak-hak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan hak-hak tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945.
Dengan warisan rejim lama yang demikian maka dalam upaya melakukan revitalisasi nilai-nilai lokal ini yang harus dilakukan adalah memulihkan kerusakan pranata-pranata sosial masyarakat adat yang sedemikian parah, sebagai akibat dari sistem desa Orde Baru (UU No. 5 Tahun 1979). Upaya-upaya pemulihan (recovery) terhadap pranata (kelembagaan) adat/lokal merupakan tantangan terbesar yang harus menjadi prioritas utama bagi semua pihak yang berpihak pada kearifan tradisional, baik di kalangan pemerintah maupun dalam elemen-elemen gerakan masyarakat sosial, khususnya gerakan masyarakat adat di Indonesia.
c) Otonomi Daerah: Pemberlanjutan Pengrusakan Alam yang Semakin Meningkat
Di tengah pemberlanjutan 'ideologi' pembangunan ekspolitatif dari rejim Orde Baru Soeharto-Habibie ke rejim KH. Abdurahman Wahid, reorganisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui otonomi daerah telah menjadi tema sentral diskusi hampir di seluruh lapisan masyarakat (kecuali mungkin di pusat-pusat kekuasaan di Jakarta karena terlalu sibuk dengan urusan merebut atau mempertahankan kekuasaan). Dalam otonomi daerah ini, yang secara formal ditandai dengan keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, ada kehendak dari para pembuatnya untuk memperbaharui hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah melalui penyerahan kewenangan pusat ke daerah atau desentralisasi, antara eksekutif (PEMDA) dengan legislatif (DPRD) melalui "kemitraan sejajar" di antara keduanya, dan terakhir mendekatkan secara politik dan geografis antara penentu kebijakan (yang kewenangannya diserahkan ke DPRD dan PEMDA Kabupaten) dengan rakyat sehingga diharapkan kebijakan yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan hajat hidup rakyat banyak.
Dalam konteks memberi jalan bagi kedaulatan masyarakat adat, hal-hal yang dikehendaki tersebut perlu dikaji dan dipertanyakan secara kritis mengingat bahwa UU 22/1999 dan UU 25/1999 ini hanya mengatur sistem pemerintahan (government system), bukan system pengurusan (governance system). Ini berarti bahwa kedua UU ini baru mengatur hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, belum menyentuh pada persoalan mendasar tentang hubungan rakyat dengan pemerintah yang selama Orde Baru justru merupakan akar dari segala persoalan yang dihadapi masyarakat adat, yaitu tidak adanya kejelasan dan ketegasan batas sampai di mana pemerintah boleh (punya hak) mengatur dan mengintervensi kedaulatan masyarakat adat. Yang muncul sebagai akibat dari ketidak-tegasan dan ketidak-jelasan ini adalah tumbuh-suburnya perilaku politik pengurasan di kalangan elit politik, khususnya para bupati yang mendapatkan penambahan wewenang yang cukup besar. Para bupati berlomba-lomba mengeluarkan PERDA untuk menarik pendapatan asli daerah (PAD) sebanyak-banyaknya dari berbagai macam sumber seperti bermacam pungutan, retribusi, pemberian ijin HPHH skala kecil, IPK dan sebagainya. Akibatnya beban pengeluaran rakyat ke pemerintah semakin meningkat, yang nampaknya juga tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas pelayanan birokrasi kepada rakyat yang telah membayar pajak dan non-pajak lebih besar.
Hal menarik dan penting dicatat dari perjalanan otonomi daerah selama setahun terakhir ini adalah bahwa bertambahnya kekuasaan/wewenang di tangan para Bupati dan DPRD bukan berarti dengan sendirinya mengurangi kekuasaan/wewenang pemerintah pusat di daerah atas sumberdaya alam. Pada kenyataannya peraturan per-UU-an sektoral masih tetap kokoh dan berjalan seperti biasanya. Misalnya pencabutan ijin HPH, HPHTI, perkebunan besar, kuasa pertambangan masih tetap berada di tangan departemen sektoral. Dari sini bisa dipastikan otonomi daerah telah menyebabkan penambahan jumlah dan jenis kegiatan eksplitasi sumberdaya alam, belum lagi terhitung ekploitasi haram (tidak pakai ijin dari pemerintah pusat atau daerah) yang sama sekali di luar kapasitas pemerintah untuk mengontrol. Kalau kecenderungan ini tidak segera dihentikan (atau paling tidak dikendalikan) maka otonomi daerah tidak pernah jadi solusi, bahkan akan meningkatkan laju pengrusakan diri masyarakat adat itu sendiri beserta habitatnya.

d) Globalisasi: Ancaman Laten Modernisme dan Individualisme
Di samping persolan yang sifatnya nasional (warisan rejim lama) dan juga persoalan-persoalan baru yang muncul dari pelaksanaan Otonomi Daerah yang "sembrono", fenomena globalisasi ekonomi juga akan sangat berpengaruh besar terhadap prospek nilai-nilai budaya lokal dan kearifan tradisional sebagai landasan penguatan kelembagaan lokal dalam pengelolaan sumberdaya dan keanekaragaman hayati. Globalisasi ini menjadi perlu dicermati sebagai tahapan lanjut dari periode pembangunanisme yang dianut oleh Rejim Otoriter-Militeristik Orde Baru yang nyata-nyata telah menghancur-leburkan ekosistem-ekosistem penting Indonesia serta memporak-porandakan pranata-pranata ada/lokal yang selama ratusan tahun menjadi penjaga dan pengelola sebagian besar dari ekosistem-ekosistem tersebut. Perjalanan pembangunan di Indonesia mencatat banyak sekali penggusuran dan penindasan yang menyedihkan bagi berbagai kelompok masyarakat, khususnya masyarakat adat, yang diwarnai oleh tindakan-tindakan kekerasan negara dan sekaligus memfasilitasi kekerasan horizontal antar kelompok masyarakat.
Kalau ditelusuri lebih jauh, maka pembangunan yang umumnya dianut oleh negara-negara berkembang adalah industrialisasi. Sebagai negara yang kaya sumber daya alam, Indonesia pun mengembangkan industri yang berbasis sumber daya alam. Celakanya, sebagian besar sumber daya lalam ini, secara tradisional sudah ada penguasa dan pemiliknya, yaitu masyarakat adat, yang juga memiliki kepentingan yang lebih luas atas sumber daya tersebut. Nilai-nilai, ide dan konsep pembangunan itu memang diimpor atau diadopsi dari "barat". Pembangunan adalah kata lain dari modernisasi. Dari sini muncullah anggapan dan keyakinan baru di masyarakat bahwa jiwa Indonesia ini kita inginkan menjadi negara modren,maka segala sesuatu yang tradisional(lisan) harus dibuang karena dianggap terbelakang dan menghambat pembangunan. Paradigma modernisasi demikian, langsung dan tidak langsung, telah menyudutkan dan melemahkan posisi masyarakat adat itu sendiri dengan menempatkan tradisi dan nilai-nilai asli bangsa ini menjadi sesuatu yang jelek (inferior) terhadap nilai-nilai "barat" yang modern sebagai sesuatu yang baik (superior).
Dengan cara yang berkembang demikian, bahkan banyak di antara masyarakat adat sendiri sering melupakan bahwa mereka memiliki kekuatan (pengetahuan, teknologi, pranata adat) untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh program "pembangunan" yang memuliakan hidup mereka, atau sebaliknya melakukan perlawanan atas program "pembangunan" yang tidak diinginkan. Sebagai konsep yang diadopsi dari "barat", nilai yang terkandung dalam pembangunan kita, yang juga dianut oleh globalisasi ekonomi, berakar pada individualisme yang, dalam banyak hal, bertolak-belakang dari prinsip dasar komunitas-komunitas masyarakat adat di Indonesia umumnya yang komunalistik dan kolektif baik dalam hal penguasaan sumberdaya maupun dalam upaya pengelolaannya untuk keadilan dan kesejahteraan bersama.
e) Kearifan Tradisional dan Praktek Pengelolaan Berbasis Masyarakat Adat:
Benteng Terakhir yang Harus Dipertahankan
Di tengah-tengah situasi pengelolaan sumberdaya hayati yang semakin memprihatinkan tersebut serta kecenderungan-kecenderungan meningkatnya ancaman terhadap keaneka-ragaman hayati dari perkembangan politik dan ekonomi yang berkembang di daerah, nasional dan global, semakin memperkuat keyakinan bahwa masyarakat adat/lokal adalah tumpuan harapan dari banyak pihak yang peduli dengan pelestarian keanekaragaman hayati. Dalam hal ini, di samping berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya, UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang telah mencabut UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa) mengakomodasikan keberagaman sistem pemerintahan lokal dan menempatkan "desa" atau "nama lainnya" sebagai unit pemerintahan yang memiliki otonomi penuh bisa "digunakan sementara" sebagai landasan hukum bagi upaya-upaya penguatan kelembagaan lokal yang berbasis pada nilai-nilai budaya lokal dan juga pijakan untuk mengimbangi desentralisasi dengan devolusi, yaitu pengembalian kekuasaan/wewenang pengurusan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati dari pemerintah kepada masyarakat.Untuk bisa sampai pada pencapaian adanya "local governance" yang efektif, membutuhkan perubahan mendasar atas paradigma, strategi dan program aksi pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia, yaitu antara lain:
f) Reorientasi PSDA dari (global)+(state)-government-based management regime ke (Community)+(local)-village-based management regimes
Perubahan mendasar orientasi pengelolaan sumber daya alam (PSDA) Rejim Orde Baru yang tadinya didominasi oleh tujuan-tujuan 'makro-nasional', seperti devisa negara dan penerimaan pendapatan pemerintah (pusat dan daerah), ke arah tujuan berorientasi 'mikro-lokal' (kampung dan antar kampung), yaitu: (1) keberlanjutan kehidupan dan keselamatan masyarakat adat di dalam wilayah kelola adatnya; (2) keberlanjutan layanan sosial-ekologi alam pada skala ekosistem yang lebih luas, dan (3) peningkatan produktifitas penduduk kampung.
Orientasi baru ini akan lebih mampu menghindarkan terjadinya penggusuran hak-hak masyarakat adat/lokal dan mencegah akumulasi kuasa dan kontrol atas sumberdaya hayati di tangan segelintir pengusaha "kroni". Dengan orientasi lama (ORBA) maka diasumsikan bahwa hanya para pengusaha yang punya modal inilah pelaku ekonomi yang mampu merealisasikan tujuan-tujuan makro seperti mendatangkan devisa yang banyak secara cepat, di samping tentu untuk kemudahan penarikan pajak dan administrasi pembangunan. Beberapa studi telah memperlihatkan bahwa asumsi ini tidak sepenuhnya benar. Sistem devisa bebas tidak memungkinkan pemerintah bisa menggontrol penggunaan devisa sehingga pendapatan dari hutan justru diinvestasikan di luar sektor kehutanan. Kemudahan penarikan pajak pun justru digunakan untuk "pajak-pajak tidak resmi dan tidak jelas penggunaannya" lewat praktek-praktek KKN antara birokrasi dan pengusaha yang akhirnya hannya memberikan "rente ekonomi" yang kecil untuk negara.
Orientasi baru ini juga lebih mampu menyelesaikan ketidak-pastian hukum dan maraknya konflik berkaitan dengan hak penguasaan (alas hak, atau tenurial rights) atas tanah dan sumberdaya alam di dalamnya.
g) Kepastian Alas Hak bagi Masyarakat Adat/Lokal
Perubahan berbagai peraturan-per-UU-an yang secara tegas memberikan pengakuan dan perlindungan hukum yang kuat terhadap hak-hak adat atas suatu kawasan SDA (seperti: petuanan di Maluku, nagori di Batak, marga di Sumatera Selatan, Benua di Landak-Kalimantan Barat, panglili tondo' di Tana Toraja, dan sebainya) yang berada di dalam wilayah masyarakat adat. Dalam hal penentuan batas-batas wilayah adat ini, suatu komunitas masyarakat adat yang memiliki dasar historis (riwayat tanah/wilayah secara lisan dan/atau tertulis, saksi-saksi, persetujuan dengan komunitas masyarakat adat yang berbatasan/tetangga langsung) atas hak asal-usul (atau hak tradisional, atau hak ulayat, atau hak adat lainnya) memiliki hak untuk melakukan "self-claiming" atau "participatory community mapping". Kawasan-kawasan SDA yang bebas dari claim hak milik dari orang per orang atau hak adat dari masyarakat adat maka kawasan/tanah tersebut bisa masukkan sebagai kawasan/tanah publik yang pengelolaannya berada di tangan pemerintah. Kawasan/tanah PUBLIK ini harus dilepaskan oleh pemerintah kepada yang berhak apabila dalam perkembangannya ada orang/pribadi tertentu, sekelompok orang (kolektif) atau kelompok masyarakat adat tertentu yang bisa menunjukkan "bukti" kepemilikan pribadi (untuk kasus orang per orang) dan "penguasaan/kepemilikan" adat (untuk masyarakat adat). Dengan demikian maka menurut status alas hak (hak penguasaan, tenurial rights) atas kawasan SDA bisa dibagi dalam 4 macam, yaitu: (1) hak milik pribadi; (2) hak milik kolektif; (3) hak adat; (4) hak publik pengelolaannya di tangan pemerintah.
Berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hukum atas hak adat tersebut maka UU PSDA perlu menyebutkan bahwa: (1) Kawasan SDA yang dikuasai/dimiliki/diusahakan oleh masyarakat adat maka kegiatan pengelolaannya sepenuhnya berada ditangan masyarakat adat itu sendiri; (2) Setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan aspek konservasi; (3) Setiap kerjasama pengelolaan kawasan SDA antara masyarakat adat dengan pihak luar negeri harus mendapatkan izin dari Pemerintah Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kepentingan nasional.
h) Pemisahan Hak Penguasaan (alas hak, atau tenurial rights) dengan Hak Guna (Use rights), Hak Pengelolaan/Pengusahaan (management rights)
Peraturan per-UU-an harus secara jelas membedakan antara "penguasaan kawasan dan SDA yang ada di dalamnya" dengan "penggunaan kawasan dan SDA di dalamnya". Dengan demkian status penguasaan./kepemilikan atas kawasan SDA baik yang berstatus milik pribadi, milik kolektif dan hak adat/ulayat, maupun milik publik bisa memiliki fungsi dan tata guna: (a) produksi, yaitu kawasan tertentu yang SDA-nya bisa dikelola dan diusahai untuk memproduksi; (b) lindung, yaitu kawasan tertentu yang harus dilindungi fungsi ekologis/hidrologis dimana pemanfaatan SDA di dalamnya harus dilakukan secara sangat terbatas; (c) konservasi, yaitu kawasan yang sumberdaya dan keanekaragaman hayati di dalamnya haris dilestarikan.
Dalam hal menjaga keberlangsungan layanan alam dan pelestarian plasma nutfah maka keterlibatan pemerintah menjadi penting sesuai dengan fungsinya sebagai PENGATUR dan PENGENDALI kegiatan pengelolaan/pemanfaatan SDA agar tidak berdampak negatif luas secara ekologis yang bisa merugikan kepentingan publik. Untuk menjaga layanan sosial-ekologi sutau kawasan SDA maka kawasan SDA yang sudah dibebani salah satu dari 4 jenis alas hak (tenurial right) bisa juga dibebani fungsi tertentu sesuai kondisi ekologis dan peruntukannya. Misalnya bila di suatu wilayah adat yang "dikuasai" masyarakat adat terhadap kawasan yang membutuhkan pengelolaan khusus (misalnya untuk kawasan konservasi keanekaragaman, atau untuk tujuan perlindungan DAS) maka masyarakat adat (diwakili oleh lembaga adat) bisa menyerahkan hak pengelolaan tersebut ke pemerintah (Menteri sebagai wakil pemerintah pusat) dengan perjanjian yang jelas bahwa pemerintah tidak boleh melakukan perubahan fungsi kawasan tanpa persetujuan dari masyarakat adat pemilik/penguasa kawasan.
Pengakuan terhadap penguasaan kawasan adat jelas akan memiliki implikasi pada mekanisme dan prosedur penentuan masyarakat lokal untuk diakui sebagai masyarakat adat, dan juga untuk menentukan batas-batas wilayah dan kawasan hutan adat dari masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu harus jelas mengatur kriteria-kriterianya, yang kemudian secara operational-prosedural diatur lebih terinci dalam satu PP yang mengatur tentang "Hutan Adat". Yang perlu diwaspadai adalah agar proses penentuan masyaraklat adat dan batas-batas wilayah/kawasan adat tidak berada di tangan pemerintah atau pihak lain (top-down), tetap ditentukan sendiri oleh masyarakat adat yang bersangkutan (self-identification dan self-claiming) secara partisipatif dan prosesnya harus dimulai dari tingkat kampung atau satuan sosial terendah.
i) Pendekatan Ekosistem, Kedekatan Sejarah & Kultural dalam Penataan Ruang Kelola SDA yang Demokratis-Partisipatif
Untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah. Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi "keharusan" untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama yang "intangible" yang dinikmati bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi (participatory democracy).
Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan 2 pendekatan. Cara pertama adalah pendekatan formal, yaitu dengan merubah sistem PEMILU yang ada saat ini menjadi sistem distrik dan pemilihan langsung untuk jabatan politik dimana rakyat yang memilih punya kontrol dan akses yang lebih baik terhadap proses dan substansi perubahan kebijakan melalui wakil rakyat yang dipilihnya. Cara kedua adalah pendekatan informal, misalnya dengan membentuk "Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam Wilayah/Daerah" atau "Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah" yang berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam lembaga seperti ini harus ada.

2.8 Kebijakan yang Bertanggung jawab dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak [1]. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan.
Kebijakan atau kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi, termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.
2.8.1 Sektor swasta dan kebijakan negara dalam pengelolaan sumber daya alam
Dalam hal ini tentu saja ada hal yang ingin dipertanyakan kebijakan pemerintah dan sekaligus juga berharap ada koreksi pada kebijakan yang dibuatnya itu merupakan hal yang sah dan memang sewajarnya dilakukan. Sebagai pihak yang dibebani kewajiban oleh konstitusi untuk membuat peraturan dan pengawasan dalam hal pengelolaan kekayaan sumber daya alam, pemerintah merupakan target yang terlihat. Tetapi jika hanya itu yang dilakukan, kita akan selalu menganggap pemerintah sebagai badan yang mandiri dan “tertutup” sehingga ketika kebijakan atau peraturan yang dikeluarkannya bisa nir-kepentingan-selain-dirinya. Kita selalu menganggap pemerintah selalu bisa mengatasi kepentingan-kepentingan apapun di luar dirinya. Bahwa kemudian dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam itu merupakan buatan dan langsung dari hanya pemerintah.
Konsekuensinya adalah jika kebijakan itu keliru, negara c.q. pemerintah di dalam dirinya sendiri dianggap sebagai tersangka tunggal, kalau tidak mau dianggap sebagai sumber kesalahan atau kejahatan dari tindakan apapun.
Ini merupakan pandangan yang tersisa dari teori-teori politik lapuk yang melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang memusat dan berdiri sendiri, yang karenanya dalam suatu permainan kekuasaan, para pemain diandaikan utuh-padu-dalam-dirinya-sendiri dan seperti punya satu pintu keluar; atau masih terpacaknya kepercayaan akan determinisme satu hal atas hal lainnya.
Padahal dalam perkembangannya, terutama seperti yang ditunjukkan oleh para post-strukturalis [seperti Michael Foucault] atau cultural studies [seperti Stuart Hall], kekuasaan tidaklah memusat dan berada di satu pihak, kekuasaan itu berada dalam ketegangan hubungan/jaringan, yang karenanya menyebar, tercerai berai. Sehingga ketika hal itu diterapkan dalam gerak langkah negara c.q. pemerintah, terlihat bahwa pemerintah tidaklah mandiri dalam mengeluarkan suatu kebijakan atau rantaian peraturan. Dia bukan hanya dipengaruhi oleh ketegangan dan campur baur tangan-tangan kekuasaan di dalam struktur internalnya sendiri, tetapi juga dipengaruhi oleh pihak-pihak luar, contohnya sektor swasta [pemilik modal].
Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, kolaborasi antara negara-sektor swasta telah sering dibuka dan dipertanyakan. Contoh yang bisa dikemukakan tentang kolaborasi meraka dalam sektor kehutanan ini adalah penuturan Peter Dauvergne [1997], yang menyorot masalah hubungan antara perusahaan kayu di Jepang dengan kebijakan kehutanan negara-negara Asia Tenggara. Tampak kemudian bahwa kebijakan yang lahir terkait pengelolaan sumber daya alam merupakan hasil bentukan dan dibentuk kembali dalam hubungannya dengan kolaborator dan artikulator yang sukses mendekati negara [Tsing, 1999]. Dengan catatan bahwa kolaborator atau artikulator sukses ini bukan hanya pengusaha – pemilik modal, tetapi juga bisa jadi malah para aktivis.
Dengan demikian, dalam hal pemindaian terhadap masalah, contohnya, proyek sejuta hektar HTI ini, mata kita harus dilebarkan bukan hanya pada peran pemerintah c.q. Dephut, [atau pean DESDM ketika menyangkut masalah mineral dan energi] , tetapi juga harus mulai melihat struktur hegemonik lainnya: hubungan antara negara dengan pebisnis serta kinerja para pebisnis itu. Hal ini dilakukan agar kita bisa melihat persoalan ini dengan lebih jernih, karena dalam banyak kejadian negara c.q. pemerintah kadang di [mem-]perlakukan [dirinya] sebagai kuda troya atau bahkan wayang bagi kepentingan lebih komplek dan kuat di belakangnya.
Masih merujuk pada pendapat Anna Tsing, kesadaran ini agak terlambat disadari oleh kalangan aktivis di manapun di dunia ini, termasuk di Indonesia. Barangkali bagi para aktivis ini, pemerintah adalah satu-satunya pihak yang menjadi sumber masalah sekaligus juga sumber penyelesaian. Karenanya jika pemerintahnya baik, baik juga kondisi pengelolaan sumber daya alam negaranya, begitu sebaliknya. Para aktivis ini juga sangat tidak berkeberatan jika harus bermuka-muka, atau berkonfrontasi dengan negara, namun agak gagap ketika harus berhadapan dengan para kolaborator dari pihak pebisnis/pemilik modal. Memang para aktivis menyinggung hal itu, tetapi nampaknya dilakukan dengan candraan yang terbatas, sempit dan kabur. Sehingga yang nampak di mata hanyalah negara, sang kanvas kertas.
Semoga saya tidak sedang mengamini pendapat para ahli politik yang melihat pemerintah kita sebagai contoh negara gagal. Tetapi sebagai bagian dari strategi, mendekati negara, memperkuatnya, agar bisa berdiri sama kuat dengan sektor swasta [bisnis/pemilik modal] dalam perlombaan memperebutkan kuasa atas kekayaan sumber daya alamnya, dengan harapan, karena negara adalah badan publik, dia akan selalu berpihak pada kita, rakyat biasa, sudah saatnya ditinjau ulang.
Bukan berarti bahwa strategi itu gagal membuat pemerintah makin kuat, tetapi, dengan semua silang sengkarut dalam pengelolaan sumber daya alam ini serta banyaknya contoh yang menunjukkan makin akutnya krisis legitimasi negara, barangkali pihak-pihak lain di luar negara itu malah bertambah lebih kuat dari negara c.q. pemerintah. Lihatlah kasus divestasi KPC atau Kasus NMR atau perhatikanlah posisi gagap, kikuk, wagu pemerintah ketika harus berhadapan dengan Freeport, ExxonMobile, perusahaan perkebunan besar, perusahaan kayu dan bubur kayu besar, dll.
Disadari juga bahwa sangat sedikit aktivis yang mempunyai ide-ide pemikiran tentang bagaimana cara mempengaruhi kebijakan di sektor swasta/pemilik modal ini. Sehingga menyulitkan mereka dalam membaca gerak sektor bisnis berkolaborasi dengan negara atau pihak lainnya. Inilah yang menjadi sebab mengapa sudah begitu banyak peraturan yang dibuat negara dalam masalah pengelolaan sumber daya alam yang tidak berjalan dengan baik, bukan hanya karena kurang berfungsinya penegakan dan pengawasan, tetapi juga karena pihak yang terkena aturan itu mempunyai sistem kekuasaan sendiri yang kadang jauh lebih kuat dan punya daya tawar yang lebih tinggi dari si pembuat kebijakan/peraturan. Di saat para aktivis sibuk bertinju ria dengan pemerintah, para ”penumpang gelap” [free-riders] itu malah menikmati privilegenya.
Dengan memperluas cara pandang seperti itu, tidak lagi hanya menimpakan titik candra pada satu pihak/masalah/[internal]struktur, namun juga memperhatikan struktur saling ketergantungan antara sektor pemerintah dengan sektor swasta [jaringan kuasa], maka mungkin kita akan bisa melihat solusi-solusi yang lebih komprehensif dan jangka panjang dalam masalah pengelolaan sumber daya alam ini. Setidaknya posisi pihak yang dulunya tak terlihat perannya semakin kentara dan bisa dibaca kepentingannya dan didekati untuk dipengaruhi. Sementara bagi pihak yang selalu menyalahkan negara dan akan tetapi selalu berharap negaralah yang bisa menyelesaikan suatu masalah, bisa menyadari keterbatasan negara c.q. pemerintah dalam hiruk pikuk perebutan kekuasaan pengelolaan sumber daya alam ini.
2.8.2 Permasalahan Yang Dihadapi dan Kebijakan Yang Perlu Diambil

Masalah yang dihadapi dan Kebijakan yang perlu diambil, sebagai berikut:
a. Masalah tata guna tanah. diakui atau tidak nilai tata guna tanah sekarang ini adalah tidak teratur. Sering pula kita jumpai rencana tata guna tanah masih menggunakan rencana pada zaman Hindia Belanda sehingga tidak lagi mencerminkan keadaan sekarang. Rencana tata guna tanah harus beroriantasi jauh kedepan sesuai dengan cepatnya pembanguna. Tata guna tanah yang direncanakan yang baru sepuluh tahun mungkin sekarang tidak lagi sesuai, karena pada waktu merencanakan perencanaan tidak mempunyai kejelian dalam melihat kebutuhan-kebutuhan yang akan datang, sehingga sering setelah tiba waktunya, pelaksanaannya bertabrakan satu sama lain sehingga akan mengakibatkan hambatan-hambatan. Oleh karena itu tata guna tanah menjadi masalah yang sangat penting untuk dibahas, bukan hanya tata guna tanah lintas sector tetapi juga didalam subsector sendiri misalnya subsector pertanian.
b. masalah perpajakan. Sangat erat hubungannya dengan butir (a) adalah kebijaksanaan tanah perkotaan terutama bagaimana iinstrumen perpajakan dapat dimanfaatkan dalam hal ini. Bidang yang terlemah diindonesia adalah perpajakan, karena itu perlu ditangani secara benar proses urbanisasi yang berlangsung dibanyak kota telah mengakibatkan naiknya permintaan akan tanah perkotaan dan dalam keadaan terbatasnya tanah perkotaan telah mengakibatkan naiknya harga/nilai tanah perkotaan secara eksplosif. Bukan saja tanah-tanah didalam kota, akan tetapi juga tanah-tanah yang terletak dipinggiran kota telah mengalami kenaikan nilai/harga yang sangat cepat.
Selain oleh kekuatan permintaan dan penawaran, kenaikan nilai/harga perkotaan dapat pula terjadi karena berbagai kebijaksanaan pemerintah. Kebijakan tanah perkotaan seperti zooming,pengaturan penggunaan tanah, dan pengaturan bangunan, demikian pula tinggi rendahnya bunga untuk membiayai pembelian tanah, tinggi rendahnya pajak atas tranah atau hasilnya, kesemuannya dapat mempengaruhi harga/ nilai tanah. perluasan dan perbaikan pada jaringan jalan, fasilitas telepon, air, sanitasi, listrik dan sebagainya ikut pula mendorong naiknya harga/nilai tanah perkotaan.
Lebih lanjut, perluasan maupun perbaikan fasilitas public didaerah perkotaan selain mampu menaikan harga/nilai tanah dilokasi fasilitas tersebut, juga akan meningkatkan harga/nilai tanah daerah sekitarnya.
Dalam membangun dan/atau merehabilitasi fasilitas-fasilitas public semacam itu, pada umumnya pemerintah daerah menghadapi kesulitan baik dalam “penguasaan tanah” yang sudah sangat mahal, dan terutama kesulitan dalam menyediakan pembiayaan yang mencukupi. Sebagai akibat kemampuan pemerintah juntuk menyediakan fasilitas public tersebut menjadi terbatas, pemeliharaannya sangat minim, sehingga seluruh fasititas public yang tersedia tidak mencukupi ataupun kalau tersedia keadaannya berada dibawah standar.
Kemampuan pemerintah untuk menyediakan fasilitas-fasilitas public yang masih terbatas mengakibatkan pula ketidak-merataan dalam penyediaan fasilitas tersebut. Sebagai akibatnya, daerah-daerah perkotaan yang mendapatkan fasilitas public yang mencukupi macam dan kualitasnya, akan menikmati suatu” Surplus Value” dibandingkan daerah-daerah lain yang fasilitasnya kurang mencukupi.
Kenaikan harga/nilai tanah selain manimbulkan nilai lebih yang dinikmati oleh para pemilik tanah-tanah tersebut, juga akan menimbulkan dorongan bagi adanya spekulasi tanah dan pemilikan tanah secara berlebihan terutama pada tanah-tanah yang diharapkan akan menjadi daerah pemekaran kota atau perluasan jaringan fasilitas perkotaan, dan seterusnya memungkinkan adanya penggunaan tanah secara tidak efisien.

Adanya “Surpus Value” yang dinikmati oleh para pemilik tanah karena kenaikan dipakai perkotaan selanjutnya. Persoalannya adalah bagaimana pemerintah, melalui kebijakannya, memperoleh sebagian dari surplus vulue tersebut.
c. masalah Kelestarian Sumber Daya Tanah. bagaimana cara menagani tanah kritis akibat ulah manusia?. Cara penanganan tersebut harus secara social dan ekonomi dapat diterima
d. masalah semakin banyaknya petani kecil ( gurem) dan penanganannya. Apakah jumlah petani kecil tersebut akan dipertahankan?. Bagaimana cara menanganinya.
e. masalah system pemilikan dan penguasaan tanah. perlu penerapan system pajak secara konsekuen dengan peningkatannya “enforcement” nya. Masyarakat perlu diberi informasi yang cukup. Selain itu pemanfaatan tanah haruslah tanah haruslah seproduktip mungkin, dengan memberikan rangsangan-rangsangan tertentu.

2.8.3 Pedoman bagi kebijaksanaan sumber daya alam dan energy yang bertanggung jawab
Berbagai pedoman dasar perlu digariskan, yaitu:
1. Perlu dihindari tindakan yang berakibat sistem sumber daya alam dan energy yang dapat diperbaharui tak dapat dipulihkan ke dalam keadaan semula. Untuk itu, perlu ditetapkan standar minimum yang aman untuk setiap sistem agar orang tak terlanjur memanfaatkan sumber daya alam dan energy itu secara berlebihan.
2. Perlu dihindari tindakan-tindakan yang berakibat kondisi lingkungan sekitar tidak dapat dikembalikan keasal semula. Misalnya pemakaian pestisida dan insektisida yang berlebihan.
3. Perlu dihindari tindakan-tindakan yang berakibat kondisi lingkungan dunia tak dapat dikembalikan ke asal semula. Misalnya perlu dilakukan pencegahan kecelakaan reactor atom, seperti terjadi di Chernobyl yang radioaktifnya menyebar ke seluruh dunia.
4. Sedapat mungkin mendasarkan kegiatan ekonomi pada pasar bebas, ditunjang sistem perpajakan dan penagihan penghasilan yang baik.
5. Perlu adanya perencanaan pengelolaan sumber daya alam dan energy yang baik. Data dasar perlu diciptakan, analisis permintaan dan penawaran didasarkan pada kebutuhan masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, sehingga dapat dilakukan kegiatan penyediaan sumber daya alam dan energy tepat waktu dan pengurangan kebutuhan sesuai dengan situasi dan kondisi yang diharapkan.
6. Perlu menunjang usaha-usaha penelitian dan pengembangan teknologi serta masyarakat. Teknologi dapat mengurangi kelangkaan sedang peran serta masyarakat dapat mengekang kebutuhan yang tak terbatas.

2.8.4 Faktor-faktor yang menentukan tersedianya sumber daya alam dan energy di waktu yang akan datang: suatu tinjauan ulang
Howe menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang menentukan tersedianya sumber daya alam dan energy itu dapat dikelompokkan ke dalam tiga factor, yaitu
1. Faktor teknologik. Dalam hal kondisi fisik tersedianya sumber daya mineral, ternyata jauh di bawah permukaan bumi sehingga mempersilt memperolehnya.
Pemanfaatan ekonomi skala yang walaupun mungkin sudah tak ada, namun berkat kerja keras hal tersebut dapat muncul kembali pada suatu waktu. Denga usaha penelitian dan oengembangan teknologi diharapkan di masa yang akan datang memungkinkan timbulnya penemuan baru yang merupakan terobosan-terobosan kea rah perbaikan.
Tuntutan akan lingkungan hidup yang lebih baik mungkinnakan menjadi pembatas bagi penemuan-penemuan baru yang seringkali berdampak negatip pada lingkungan.

2. Factor konsumsi dan gaya hidup. Seperti diketahui konsumen cukup pekat terhadap perubahan harga. Konsumen cenderung mengarah kebarang dan jasa yang kurang padat sumber daya alam yang padat sumber daya alam dan energy, konsumen memilih barang dan jasa yang padat modal/teknologi.
Gaya hidup juga berubah, terutama dinegara berkembang.”demonstration effect” terlihat dimana-mana. Apakah itu pola yang tidak baik atau justru merupakan peningkatan kualitas hidup, sulit menentukannya apabila tidak dilakukan studi menyeluruh.

3. Factor kelembagaan dan pemerataan. Apabila pemerintah terlalu banyak campur tangan pada kegiatan ekonomi maka usaha swasta akan terdesak. Penemuan dan inovasi terhambat dan masyarakat bersifat menunggu. Pemanfaatan sumber daya ala m dan energy ditujukan pada pembuatan barang dan jasa yang sebenarnya tidak diperlukan masyarakat.
Ada kecenderungan bahwa kegiatan ekonomi hanya ditujukan pada pengelolaan sumberr daya alam dan energy untuk memenuhi kebutuhan sekarang. Hal ini akan berakibat bahwa generasi yang akan datang akan menanggung resiko yang dalihkan.
Kerjasama internasional melalui petdagangan yang di dengung-dengungkan oleh kelompok Negara maju ternyata mmendaparkan hambatan pelaksanaan dari dalam Negara sendiri. Kebutuhan melindungi induustri lebih penting daripada menjalin kerjasama dengan pihak lain, karena hanya pihak lainlah yang akan memperoreh manfaat.
Disadari bahwa sampai dewasa ini dasar sehubungan dengan suber daya alam dan energi masih relative sedikit . apalagi sistem pengawasan dan pengendalian pengusahaan sumber daya alam dan energy. Sering pemerintah tidak mendapat kan data sebenar nya dari kontraktor-kontraktor asing bertalian dengan eksploitasi sumber daya alam dan energi. Padahal kebijaksanaan yang baik perlu didasarkan yang relatif lengkap.
2.8.5 Analisis Kebijakan (Policy Analysis) dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Sumber daya alam baik hayati, non hayati, sistem lingkungan di sekitarnya merupakan salah satu modal untuk mendukung aktivitas ekonomi, social, pembangunan, juga menjadi sistem pendukung kehidupan. Potensi SDA harus dikelola dan dimanfaatkan secara bijaksana sehingga memberikan manfaat yang optimal yang berkelanjutan. Prinsip pengelolaan SDA dan lingkungan berkelanjutan menekankan keharusan setiap aktivitas individu taupun kelompok untuk dapat memenuhi kebutuhannya saat ini dan mampu juga menyediakan kebutuhan generasi penerusnya dalam jumlah, kualitas, dan lingkungan yang secara umum tidak jauh berbeda dengan kondisi kini.
Kesalahan, kekurang cermatan, atau ketiodakakuratan dalam merencanakan dan melaksanakan sistem pengelolaan SDA memberikan dampak negative yang signifikan terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya. Isu konflik SDA memberikan dampak negative yang signifikan terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan makhluk hidup di dalamnya. Isu konflik SDA secara umum menyangkut alokasi dan distribusi SDA yang adil, ekonomis dan ramah lingkungan. Pola perencanaan sistem pengelolaan SDA dan lingkungan tidak cukup hanya menyandarkan pada pendekatan teknis atau technical approaches saja, tetapi lebih jauh daripada itu adalah merumuskan dan menyusun (analisis) kebijakan pengelolaan SDA dan lingkungan atau PSDAL yang lebih terpadu, interdisiplin dan berbasiskan kemampuan sumber daya local dengan melinatkan semua stakeholders yang berkepentingan atas keberadaan SDA tersebut. Kebijakan pengelolaan ASDA dan lingkungan yang bersifat spesifik yang dibedakan atas perbedaan tipe ekosistem, potensi SDA, tujuan pengelolaan, sistem birokrasi, kemampuan komunitas local dan sebagainya. Oleh karena itu implementasi kebijakan PSDAL untuk setiap tempat cenderung berbeda. Namun walaupun dalam implementasi kebijakan dan teknis pelaksanaannya tidak sama, tetapi prosedur penyusunan kebijakan dilaksanakan dengan metodologi yang relative sama. Perlu ditegaskan bahwa kebijakan dan pengelolaan. Sumber daya alam dan lingkungan merupakan salah satu bagian dari kebijakan public.
Suatu kebijakan direncanakan dan dilaksanakan untuk menjamin bahwa suatu aksi atau kegiatan kan memberikan kontribusi kepada beberapa hasil, tujuan tau sasaran yang diharapkan oleh masyarakat. Kebijakan juga merupakan preposisi atau preskripsi (rekomendasi atau resep) dari masalah nyata di masyarakat. Kebijakan dibuat untuk menjawab pertanyaan atas isu yang mengemuka di dalam perbincangan public atau masyarakat.
Suatu kebijakan memiliki karakteristik sebagai berikut:
a. Kebijakan tidak eksis secara tunggal, tetapi ganda(berantai). Seperti kegiatan penjarahan kayu dihutan alam Indonesia, sehingga untuk menjaga hal trsebut berlanjut diperlukan kebijakan lain untuk menekan laju penjarahan tersebut.
b. Keberhasilan suatu kebujakan didukung oleh sistem. Buruknya kondisi sistem politik mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan, sehingga perubahan kebijakan harus didukung oleh sistem yang baik
c. mengubah atau mempengaruhi suatu keadaaann yang almost impossible menjadi possible.
d. Kebijakan yang baik di dukung oleh informasi yang lengkap dan akurat. Informasi atau data yang tidak lengkap dan akurat tidak menimbulkan misinterpretation, misperception dan poor guidelines dalam mengimplementasikan kebijakan
Upaya-upaya untuk mempelajari proses-proses kebijakan public terkait SDA dilakukan melakukan aktivitas yng disebutb analisis kebijakan (policy analysis). Beberapa defenisi tentang analisis kebijakan (ANJAK) adalah sbb :
a) ANJAK merupakan aktivitas menciptakan pengaruh tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tersebut, ANJAK meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik.
b) ANJAK adalah suatu upaya sistematik untuk menghasilkan pengetahuan tentang preskripsi untuk mengatasi masalah
ANJAK mencoba menganalisis permasalahan secara terpadu dan interdisiplin, sehingga seorang analisis kebijakan dituntut memiliki kemampuan wawasan yang luas tentang dengan kajian kebijakan yang sedang dihadapinya. Seorang analisis kebijakan pengelola SDA mineral memiliki pengetahuan yang cukup dalam dan mampu memadukannya dalam kerangka sistematis, diantaranya: ekologi, ekonomi, politik, statistika, kehutanan, pertanian, linkungan hidup, social budaya, tren perubahan global, dan sebagainya. Kedalam pengetahuan dan wawasan seorang analisis kebijakan dapat ditunjukkan dari kemampuannya dalam memformulasiKN MASALAH merumuskan parameter, atau indicator, menentukan stakeholders atau interest groups dan menentukan alternative daampak implementasi kebijakan yang dikajinya selain itu , suatu ANJAK harus mampu menginternaliasikan prose pemikiran krisis tidaak hannya terdapat proses kaidah ilmiah ANJAK, tetapi juga terhadap nilai-nilai kebijakan yang ada.
Pendekatan ANJAK menyangkut pula informasi yang dibutuhkan didalam menganalisis kebijakan. ketiga pendekatan yang digunakan dalam ANJAK disajikan dalam table 4.1. dari atabel tersebut tersirat baahwa seorang analisis ANJAK mampu mensintesis dan menkomunikasikan ketiga tipe informasi secara komprehensif dan terpadu, sehingga hasil atau keluaran ANJAK dapat efektif mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Table 4.1 pendekatan dalam ANJAK (Dunn,1999)
Pendekatan Pertanyaan utama Tipe informasi
1. Empiris Adakah dan akankah ada(fakta)? Deskriptif dan prediktif
2. Valuatif Adakah manfaatnya? (nilai) Valuatif
3. Normative Apakah yang harus diperbuat? Preskriptif

ANJAK dilakukan dengan tujuan menyediakan informasi bagi pembuat kebijakan untuk dijadikan bahan pertimbangan yang logis dalam memecahkan masalah kebijakan. Proses ANJAK akan memberikan akibat berupa keluaran (outputs, misalnya: barang, layanan) atau sumberdaya yang diterima oleh kelompok sasaran dan dampak (impacts, misalnya: perubahan nyata pada tingkah laku atau sikap sasaran yang dihasilkan oleh keluaran kebijakan. Adapun metodologi ANJAK secara umum menyangkut lima prosedur secara umum, berupa : defenisi(masalah), prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi atas isu atau masalah yang diteliti.

2.8.6 Kebijaksanaan sumber daya alam dan energy yang bertanggung jawab
Howe mengemukakan bahwa kebijaksanaan sumber daya alam dan energy yang bertanggung jawab haruslah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Kebijaksanaan tersebut menjamin kontinuitas produksi serta lingkungan yang baik diwaktu yang akan dating;
2. Kebijaksanaan tersebut mengandung pedoman, rangsanganserta tindakan yang bertaliandengan pemanfaatan sumber daya alam den energy dan mampu menggerakkan ekonomi kea rah konsumsi yang efisien, terus menerus dan selalu meningkat;
3. Kebijaksanaan tersebut tidak mengakibatkan perusakan lingkungan fisik sehingga tidak dapat dipulihkan;
4. Kebijaksanaan tersebut tidak menimbulkan resiko besar pada generasi yang akan dating;
5. Kebijaksanaan tersebut perlu didasarakan pada kenyataan bahwa Negara di dunia itu saling tergantung, sehingga kebijaksanaan tersebut perlu dikaitkan dengan kesejahteraan bagi seluruh dunia.
Landsberg mengemukakan bahwa kebijaksanaan akan sumber daya alam dan energy haruslah dilaksanakan secara terus menerus, tak boleh terputus, didasarkan pada penelitian, pengembangan serta investasi yang panggah; ditunjang oleh system perdagangan duniayang bebas; serta pemikiran tentang guna ganda lahan dan perairan yang mengelilingi suatu Negara.
Di Indonesia LIPI bekerja sama dengan National Academy of Science (NAS) Amerika Serikat menerbitkan Laporan Loka Karya tentang sumber daya alam dan energy pada tahun 1972 (11-16 september di Jakarta). Dalam loka karya tersebut diinventarisasi sumber daya alam dan energy Indonesia, serta kebutuhan untuk pembangunan nasional. Pada tahun 1977 Sumitro Djojohadikusumo mengemukakan pentingnya kaitan antara ilmu pengetahuan, sumber daya dan pembangunan.
Selanjutnya Katili dan Zen menegaskan bahwa sumber daya alam dan energy memang penting untuk pembanguna nasional dan perlu dikelola dengan baik dengan memperhatikan lingkungan. Yang penting dan perlu dalam hal ini adalah bagaimana cara memanfaatkannya untuk pembangunan nasional tanpa merusak lingkungan.
2.8.7 Peranan pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang dibuat
Pemanfaatan SDA secara berlebihan tanpa memperhatikan aspek pelestariannya dapat meningkatkan tekanan-tekanan terhadap kualitas lingkungan hidup yang pada akahirnya akan mengancam swasembada atau kecukupan pangan semua penduduk di Indonesia. Oleh karena peran pemerintah dalam memberikan kebjakan tentang peraturan pengelolaan SDA menjadi hal yang penting sebagai langkah menjaga SDA yang berkelanjutan.
Kebijakan yang di buat oleh pemerintah tidak hanya ditetapkan untuk dilaksanakan masyarakat tanpa pengawasan lebih lanjut dari pemerintah. Pemerintah memiliki peran agar kebijakan tersebut diterapkan sebagaimana mestinya oleh masyarakat. Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:
• Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.
• Memerlukan peranan lokal dalam mendesain kebijakan.
• Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
• Menetapkan pendekatan kewilayahan.
Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No. 25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup lebih diprioritaskan di Daerah, maka kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Program itu mencakup :
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam.
Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup.
Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.

4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.
Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten.
5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
Dari penjelasan di atas sebaiknya peran pemerintah tidak hanya sebagai pembuat kebijakan (legislatif) dan pengontrol saja, tetapi ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan pemerintah :
1. Melakukan pembaharuan teknologi yang ramah lingkungan, dengan mendukung serta memberikan dana bagi institusi atai individu yang melakukan pembaharuan teknologi tersebut. Misalnya teknologi Biogas, Biopori, dan minyak biji jarak.
2. Mengajak perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang lingkungan dan SDA untuk ikut serta menjaga SDA yang ada, dengan mendorong mereka melakukan corporate sosial responsibility (CSR) sebagai bentuk tanggung jawab terhadap eksploitasi SDA yang dilakukan, dengan membuat UU perihal kewajiban perusahaan melakukan CSR.
3. Mengkampayekan Cinta Indonesia Cinta Lingkungan, seperti buang sampah pada tempatnya, tentunya dengan memberikan sanksi bagi para pelanggar (tanpa pandang levelitas).
4. Mensosialisasikan dengan tepat kebijakan-kebijakan kepada seluruh aspek masyarakat, agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut berperan serta memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan.
5. Meningkatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia (SDM) seperti pengetahuan serta keteranpilan SDM dalam pengelolaan dan pengembagan program CSR.
2.8.8 Revitalisasi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam Dan Lingkungan Hidup Nasional
Lingkungan Hidup merupakan ruang yang ditempati manusia bersama makhluk lainnya, yang masing-masing tidak berdiri sendiri dalam proses kehidupan, saling berinteraksi dan membutuhkan dalam tatanan ekosistem. Sebagai satu kesatuan lingkungan hidup tidak dapat dibicarakan secara parsial, namun harus dipandang secara holistik dan mengandung sistem yang teratur serta meletakkan semua unsur di dalamnya secara setara. Pencemaran atau perusakan lingkungan hidup memiliki efek yang menyengsarakan kehidupan umat manusia dan berimplikasi kepada pelanggaran hak asasi manusia. Tanpa lingkungan hidup yang baik dan sehat, menjadikan sulit mencapai hak-hak kemanusian lainnya.
Formulasi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dilihat dari sudut bentuk dan isinya, bersifat hak asasi klasik yang menghendaki penguasa menghindarkan diri dari campur tangan terhadap kebebasan individu untuk menikmati lingkungan hidupnya. Ditinjau dari bekerjanya, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat mengandung tuntutan yang bersifat hak asasi sosial, karena sekaligus diimbangi dengan kewajiban bagi pemerintah untuk menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan (fungsi) lingkungan hidup, serta adanya kewajiban setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup.
Permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kondisi tersebut mengharuskan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkelanjutan, perlu:
- ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas
- sumberdaya manusia yang berkualitas
- perluasan penerapan etika lingkungan dan assimilasi sosial budaya yang semakin mantap, serta
- mendorong terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika lingkungan melalui internalisasi ke dalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dengan menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
Permasalahan lingkungan hidup dalam era otonomi, cenderung semakin bertambah kompleks. Kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, oleh karena daerah ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam secara berkelebihan dengan menggunakan teknologi yang tidak berwawasan lingkungan serta tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup sebagaimana mestinya. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kemerosotan kualitas lingkungan dan diikuti dengan timbulnya bencana alam. Menurunnya kualitas lingkungan hidup di daerah dari waktu ke waktu, ditunjukkan oleh karena pengelolaan lingkungan hidup pada era otonomi daerah, masih terdapat:
1. Ego sektoral dan kedaerahan, masih terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, sering terjadi overlaping antar sektor yang satu dengan sektor yang lain (terjadinya tumpang tindih perencanaan antar sektor) dalam pengelolaan lingkungan hidup.
2. Pendanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. PAD masih terlalu rendah dialokasikan untuk dana pengelolaan lingkungan hidup, dan diperparah lagi dengan minimnya dana dari APBN yang dialokasikan langsung ke daerah untuk pengelolaan lingkungan hidup.
3. Keterbatasan sumber daya manusia. Personil yang seharusnya bertugas melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup (termasuk aparat pemda) banyak yang belum memahami secara baik tentang arti pentingnya (pengelolaan) lingkungan hidup.
4. Eksploitasi sumberdaya alam yang masih terlalu mengedepankan profit ekonomi. Hal ini bertentangan dengan keharusan menggunakan sumberdaya alam untuk pembangunan guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
5. Lemahnya implementasi paraturan perundangan, walau ketentuan peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup cukup banyak. Selanjutnya, beberapa pihak yang justru tidak melaksanakan peraturan perundangan dengan baik, bahkan mencari kelemahan dari peraturan perundangan tersebut untuk dimanfaatkan guna mencapai tujuan kepentingan pribadinya.
6. Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya di bidang pengawasan.
7. Pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah tentang lingkungan hidup.
8. Penerapan teknologi yang tidak ramah lingkungan, karena mengharapkan hasil yang instant, cepat dapat dinikmati, seperti: penggunaan pupuk, pestisida, yang tidak tepat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan pencemaran dan atau kerusakan serta pemulihan kualitas lingkungan menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan kelembagaan, sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat hukum dan perundangan, informasi serta pendanaan. Kemudian, sifat keterkaitan (interdependensi) dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan pembangunan sektor dan daerah.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup perlu mendapat pengakuan politis melalui transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah, berupa meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup, memperhatikan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan, membangun hubungan interdependensi antar daerah, dan menetapkan pendekatan kewilayahan. Program pembangunan sumberdaya alam dan lingkungan hidup dalam kebijakan pembangunan nasional, perlu adanya:
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi. Sasaran program ini, yaitu tersedia dan teraksesnya informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat luas di setiap daerah.
2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Alam, yang tujuannya menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya, sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien dan berkelanjutan, guna terlindunginya kawasan-kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkendali dan eksploitatif
3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan, serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini yaitu tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan yang ditetapkan.
4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini yaitu tersedianya kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya penegakan hukum secara adil dan konsisten
5. Program Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup, yang tujuannya untuk meningkatkan peranan dan kepedulian pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini yaitu tersediaanya sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan upaya mensinkronisasikan, mengintegrasikan dan memberi bobot yang sama bagi tiga aspek utama pembangunan, yaitu aspek ekonomi, aspek sosial budaya dan aspek lingkungan. Pembangunan ekonomi, sosial budaya dan lingkungan harus dipandang sebagai terkait erat satu sama lain, dan karena itu unsur-unsur dari kesatuan yang saling terkait ini tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan lainnya, serta menggeser titik berat pembangunan dari hanya pembangunan ekonomi, juga mencakup pembangunan sosial budaya dan lingkungan.
Integrasi pembangunan sosial budaya dan pembangunan lingkungan ke dalam arus utama pembangunan nasional agar kedua aspek tersebut mendapat perhatian yang sama bobotnya dengan aspek ekonomi merupakan suatu hal yang ingin dicapai.
Pembangunan sebagai sebuah proses membangun manusia seutuhnya dan seluruhnya, tidak hanya bertujuan meningkatkan derajat fisik manusia tertentu saja, melainkan memungkinkan setiap orang dan kelompok masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya, baik fisik maupun derajat kualitas kehidupan secara luas (mental, budaya, sosial, politik, spiritual dan ideologis).
Paradigma pembangunan berkelanjutan membutuhkan kemitraan dalam semangat saling memahami dan saling percaya yang positif konstruktif di antara berbagai stakeholder demi menjamin lingkungan hidup menjadi bagian integral dari keseluruhan proses pembangunan. Selanjutnya, keberhasilan pembangunan berkelanjutan memerlukan suatu sinergi positif antar tiga kekuatan utama, yaitu negara dengan kekuatan politiknya, sektor swasta dengan kekuatan ekonominya dan masyarakat warga dengan kekuatan moralnya. Tolok ukur keberhasilan dan kemajuan masyarakat adalah kualitas kehidupan yang dicapai dengan menjamin kehidupan ekologis, sosial budaya dan ekonomi secara proporsional.
Strategi kebijakan itu disesuaikan dengan kondisi ekologi dan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat di pihak lain. Strategi mempunyai sasaran untuk membangun masyarakat lokal untuk mempunyai sumber penghidupan ekonomi yang ramah terhadap lingkungan. Melalui keberlanjutan ekologi, akan mencapai bagaimana masyarakat setempat mengembangkan kehidupan ekonominya, yang sekaligus mengatasi masalah kemiskinan nyata yang dihadapinya, dan bersamaan mereka tetap melestarikan dan menjamin ekosistem di sekitarnya dalam sebuah simbiosis yang saling mendukung.



BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengelolaan dapat didefinisikan sebagai suatu upaya manusia untuk menggunakan, mengolah, dan menjaga sumber daya alam di alam semesta ini. Proses dari pengelolaan ini sendiri mempertimbangkan hubungan timbal balik antara kegiatan penggunaan sumber daya alam dan lingkungan alam yang secara potensial terkena dampak kegiatan-kegiatan tersebut.
Di Indonesia terdapat sumber daya alam yang berlimpah ruah. Dari sumber daya alam yang diperbaharui sampai dengan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Pengelolaan perlu untuk dilakukan untuk melestarikan serta menjaga sumber daya alam agar tetap bisa di nikmati di masa depan di mana sumber daya alam ini dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia demi kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu sumber daya alam perlu dikelola secara tepat dan membutuhkan kebijakan yang bertanggung jawab agar dapat mengatur cara pengelolaan secara baik.

3.2 Saran
dengan makalah ini penulis berharap agar pembaca dapat menambah wawasannya tentang sumber daya alam dan pengelolaan sumber daya alam serta kebijakan-kebijakan yang bertanggung jawab dalam sumber daya alam. Sehingga tidak hanya menjadikan hal ini sebagai ilmu semata tetapi juga mengimplementasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari.